TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pemberian pembebasan bersyarat kepada terpidana 20 tahun atas kepemilikan mariyuana, Schapelle Leigh Corby oleh pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menuai kritikan tajam. Kebijakan tersebut dinilai kontra produktif dengan pemberantasan narkotika serta tidak konsisten untuk memperketat pemberian remisi.

"Kasihan Polri yang sudah menetapkan bahwa RI pada level darurat karena bukan saja sebagai pasar dan transit tapi sudah jadi produsen. Kebijakan Presiden dan pemberian PB bisa memicu demoralisasi bagi penggiat pemberantasan perdangan narkoba maupun masyarakat umum," kata anggota Komisi III DPR RI, Eva Kusuma Sundari, Minggu (9/2/2014).

Kekecewaan juga diungkapkan anggota Komisi III DPR Deding Ishak terkait kebijakan keputusan pemerintah memberikan pembebasan bersyarat kepada Corby.

Menurut Deding, pemerintah tidak sensitif terhadap aspirasi masyarakat.

"Soal Corby, pemerintah tidak sensitif terhadap aspirasi masyarakat dan tidak memahami bahwa narkoba merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes)," ujarnya.

Deding menambahkan, pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana 'narkotika jumlah besar' merupakan bentuk mengistimewakan.
Ditekankan Deding, dalam hukum jangan hanya melihat asas legal formal, namun juga asas kemanfaatan.

"Apa manfaatnya membebaskan gebong narkoba?. Jadi pemerintah harus menjelaskan kenapa begitu mengistimewakan Corby," kata Politikus Partai Golkar itu.

Corby diketahui telah divonis hukuman 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Denpasar pada Mei 2005. Wanita asal Australia itu dinyatakan bersalah terbukti menyelundupkan 4,2 kilogram ganja ke Bali.

Pada Jumat (7/2/2014) kemarin, KemenkumHAM melalui MenkumHAM, Amir Syamsudin resmi memberikan permohonan pembebasan bersyarat kepada Corby. Meski mendapatkan pembebeasan bersyarat, perempuan yang dijuluki Ratu Mariyuana itu belum bisa langsung meninggalkan Indonesia untuk beberapa waktu kedepan.
Edwin Firdaus