Pejabat Publik Jadi Jurkam, Aspek Mudaratnya Lebih Banyak
Memasuki masa kampanye rapat umum terbuka 16 Maret - 5 April, partai politik menurunkan kadernya menjadi juru kampanye.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Memasuki masa kampanye rapat umum terbuka 16 Maret - 5 April, partai politik menurunkan kadernya yang menjadi pejabat publik untuk menjadi juru kampanye.
Tidak tanggung-tanggung, dari presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati dan wakilnya, walikota dan wakil walikota patuh pada partai dan beramai-ramai mengajukan cuti.
Direktur Pol-Tracking Institute, Hanta Yuda, mengatakan sebenarnya pejabat publik sah-sah sah menjadi jurkam karena itu memang dibenarkan udang-undang. Hanya saja, Hanta menilai aspek mudaratnya lebih banyak dibandingkan dengan aspek manfaatnya.
"Pertama, fokus mereka akan terbelah maka akan mengganggu kinerja mereka sendiri sebagai pejabat publik. Yang dirugikan adalah rakyat," ujar Hanta saat diskusi bertajuk 'Rakyat Memilih Siapa' di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (15/3/2014).
Kedua, lanjut dia, pejabat publik yang menjadi jurkam akan menyebabkan potensi dualisme loyalitas. Di satu sisi dia bekerja untuk rakyat, namun di satu sisi dia harus memenangkan partainya. Apalagi juru kampanye tersebut sebagai ketua umum menjadi juru kampanye.
"Ketiga, potensi 'abuse of power' (penyalahgunaan kekuasaan, red) itu besar sekali. Apakah kemungkinan penggunaan fasilitas negara, keuangan negara, dan lainnya," terang Hanta.
Keempat, selama menjadi jurkam, pejabat publik tersebut meninggalkan kerjaan dan rakyatnya. Menurut Hanta, kini sudah 22 gubernur mengajukan izin cuti untuk kampanye. Jika ditambah dengan menteri, presiden, dan kepala daerah lainnya, lebih dari 50 persen pejabat publik diprediksi akan meninggalkan rakyatnya selama kampanye.