Emir Moeis Singgung Kasus Cek Pelawat dalam Surat Pembelaan
Emir mengkritisi belum dihukumnya pemberi cek pelawat dan cederung dilupakan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus dugaan suap cek pelawat yang menjerat puluhan Anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004 disingung Izedrik Emir Moeis dalam nota pembelaan (pledoi) pribadinya.
Dalam pledoi setebal 36 halaman yang dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, pada Kamis (20/3/2014), Emir mempertanyakan kelanjutan kasus dugaan pemberian 480 cek pelawat senilai Rp 24 miliar tersebut. Emir mengkritisi belum dihukumnya pemberi cek pelawat dan cederung dilupakan Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Yang masih membuat saya bertanya-tanya hingga hari ini, siapa sebenarnya yang menyediakan cek pelawat? Sampai hari ini masalah itu masih gelap. Setelah begitu banyak orang yang dihukum karena menerima grtaifikasi, sepatutnyalah negara dikemudian hari harus menghukum si pemberi gratifikasi tersebut, yang sampai saat ini nampaknya dilupakan begitu saja?" Kata terdakwa dugaan suap proyek PLTU Tarahan tersebut.
Menurut Emir, dirinya berkepentingan terhadap kasus cek pelawat tersebut karena pernah dianggap sebagai pihak yang juga turut bertanggungjawab. Mengingat, pernah duduk sebagai Ketua Komisi IX DPR.
Tetapi, lanjut Emir, semua tuduhan tersebut berhasil dimentahkan. Lantaran berhasil membuktikan sebagai pihak yang menolak diberikan cek pelawat tersebut.
Diketahui, kasus dugaan suap cek pelawat terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia, Miranda Swaray Gultom, belum menyentuh pihak pemberi cek pelawat tersebut. Hingga saat ini, KPK mengatakan bahwa belum ada penyelidikan baru terkait dugaan suap cek pelawat tersebut.
Namun, diduga cek pelawat tersebut diketahui, dibeli oleh Bank Artha Graha untuk kliennya, yaitu PT First Mujur Transplantation & Industry (FMPI), sebuah perusahaan yang bergerak dibidang agro industri, terutama kelapa sawit.
Ketika itu, FMPI memerlukan cek pelawat untuk pembayaran uang muka pembelian lahan kelapa sawit 5.000 hektar di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Di mana, tanah tersebut dibeli dengan berpatungan dengan seorang bernama Fery Yen.
Kemudian, diketahui bahwa Fery Yen mengurus pembelian dan dia juga yang minta dibayar dengan cek pelawat berjumlah Rp 24 miliar yang nilainya masing-masing Rp 50 juta per lembar.
Tetapi, sayang akhirnya kronologis cek pelawat tersebut terputus sampai Fery Yen karena yang bersangkutan telah meninggal sejak 7 Januari 2007. Sehingga, belum diketahui bagaimana cek yang seharusnya berada di tangan Fery bisa sampai kepada Nunun.
Kemudian diserahkan kepada anggota dewan Komisi IX periode 1999-2004. Dengan maksud, memilih Miranda sebagai pemenang DGS BI tahun 2004.
KPK sendiri diketahui memang pernah memeriksa beberapa petinggi dari Bank Artha Graha. Terkait kasus suap cek pelawat, sudah lebih dari 25 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 yang divonis. Ditambah lagi, Nunun Nurbaeti, dan Miranda Swaray Gultom.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.