Forum BUMN Ajukan Uji Materi Sejumlah Pasal di UU BPK
Forum Hukum BUMN menguji sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menguji sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan UU No 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan tersebut diajukan karena para penggugat tidak sepakat kekayaan BUMN dimasukkan dalam kategori kekayaan negara, yang diatur dalam UU Keuangan Negara.
Permohonan ini diajukan Forum Hukum BUMN dan Omay Komar Wiraatmadja serta Sutrisno.
Uji materi dilakukan atas Pasal 2 Huruf G dan I, Pasal 6 Ayat (1), Pasal 9 Ayat (1) Huruf B, Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (3) Huruf B UU Keuangan Negara, dan Pasal 11 Huruf A UU BPK.
Menurut para penggugat, dengan masuknya kekayaan BUMN sebagai salah satu kekayaan negara sesuai UU Keuangan Negara, mengakibatkan BUMN bisa diaudit BPK. Padahal, terang mereka, kedua UU itu dinilai bertentangan dengan UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas (PT).
Mereka menjelaskan, pengertian keuangan negara dan kekayaan negara dalam Pasal 2 Huruf G dan Huruf I UU Keuangan Negara telah menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menurut mereka, hal itu juga dapat menyebabkan disharmonisasi dengan ketentuan-ketentuan dalam UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas. Misalnya, Pasal 2 UU Keuangan Negara menyebutkan keuangan negara meliputi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
Sementara itu, Pasal 10 Ayat 1 UU BPK menyebutkan, BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai yang dilakukan bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Menurut Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR, Sumarjati Aryoso, uji materi tersebut lantaran bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Pasal 33 Ayat 2 UUD dengan tegas menyebutkan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ayat berikutnya juga menyebutkan, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dia menilai, pemisahan aset BUMN dari keuangan negara harus ditolak karena saat ini pengelolaan BUMN buruk. Hasil telaah BAKN DPR sendiri terhadap hasil laporan hasil pemeriksaan BPK semester I tahun 2013 menyatakan, masih banyak terjadi kasus penyimpangan keuangan negara di lingkungan BUMN. Sebagian besar BUMN juga belum memiliki tata kelola yang baik.
"BAKN menemukan ada 510 kasus penyimpangan keuangannya negara," kata Sumarjati Arjoso beberapa waktu lalu.
Sebanyak 234 kasus di antaranya terkait kelemahan SPI dan 276 kasus terkait ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Dari 510 kasus yang ada, 93 kasus merupakan kasus yang merugikan dan berpotensi merugikan negara. BAKN juga menemukan penyimpangan 28 kasus ketidakefektifan senilai Rp 44,75 triliun di beberapa BUMN.
Menurut pandangan Pengamat ekonomi dari Institute for Global Justice (IGC), Salamuddin Daeng. Penolakan BUMN untuk diatur dalam UU Keuangan Negara menunjukkan BUMN lupa diri akan sejarah pembentukan badan itu.
"Mereka tidak sadar, BUMN itu punya siapa dan asal usulnya dari mana," ujarnya.
Dia menjelaskan, dari sisi sejarah sendiri perusahaan negara dibuat untuk mengabdi pada rakyat dan kepentingan nasional. Dana yang disetorkan pemerintah dalam bentuk penyertaan modal berasal dari pajak rakyat yang menjadi aset negara.
"Bagaimana mungkin perusahaan negara yang sangat korup tidak diaudit negara?" jelasnya. Dirinya menambahkan, kerugian selama ini terjadi karena BUMN hanya dijadikan alat untuk memperkaya diri semua pejabatnya, dari menteri hingga direksi.