SBY Harus Tuntaskan Uang Diyat Satinah
pemerintah Indonesia dinilai kurang maksimal menyelamatkannya seperti memberikan pembelaan dan membayar kekurangan uang darah
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Jelang hukuman pancung yang akan dijatuhkan kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Ungaran Jawa Tengah di Arab Saudi, Satinah, pemerintah Indonesia dinilai kurang maksimal menyelamatkannya seperti memberikan pembelaan dan membayar kekurangan uang darah (diyat).
"Pemerintah dalam hal ini Presiden harus berupaya maksimal bebaskan Satinah," kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Hanura, Kristiawanto, Rabu (26/3/2014).
Kristiawanto mendesak, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seharusnya langsung melakukan sendiri diplomasi untuk upaya penyelamatan. "Kalau perlu, Presiden juga harus talangi (menutup) uang diat yang masih kurang," ujarnya.
Kristiawanto juga menyinggung soal alasan pemerintah yang mengatakan bahwa tak ada negara lain yang ikut campur dalam proses kriminal warganya di negara lain. "Masing-masing negara punya kebijakan berbeda dalam pembelaan atas warga negaranya. Untuk Indonesia, peran pemerintah harus besar karena jumlah TKI cukup besar di negara lain," tegasnya.
Dia juga menekankan, pemerintah membutuhkan sistem yang rapih, efektif sistemik dan komprehensif dalam menangani TKI. Sebenarnya menurut Kristiawan, hasil kerja Satuan Tugas (satgas) Penanganan Kasus Warga Negara Indonesia yang Terancam Hukuman Mati di luar negeri yang sudah dibuat sejak 2 tahun lalu oleh Presiden sendiri.
Untuk langkah yang mendesak, ia mencontohkan Presiden yang kini banyak mengecap fasilitas negara untuk kampanye partainya, bisa menyisihkan untuk menyelamatkan satu nyawa warga negaranya dari hukuman mati. Diyat yang dituntut oleh keluarga Al Gharib semula sebesar 15 juta riyal namun kemudian turun menjadi 7 juta riyal atau sekitar Rp 21 miliar.
Sebelumnya, Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Tatang Razak menyatakan bahwa pemerintah hanya bersedia membantu empat juta riyal saja atau senilai 12 milyar rupiah. Diyat ini harus dibayar pada tanggal 3 April 2014. Jika tak bisa membayar maka Satiah akan dihukum pancung pada tanggal 12 April 2014.
Satinah mengaku bersalah membunuh majikannya, Nura Al Gharib, di pengadilan Arab Saudi pada 2010 dan dijatuhi hukuman pancung. Berdasar hukum Arab, eksekusi bisa dihindari jika pelaku membayar kompensasi yang disebut diyat kepada keluarga korban.