Penggulung Roti Antar Satinah Dihukum Mati
Hidup Satinah binti Jumadi tinggal seminggu lagi
Penulis: Adi Suhendi
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hidup Satinah binti Jumadi tinggal seminggu lagi. Jika uang diyat (darah) sebesar 7 juta real atau sekitar Rp 21,25 miliar tidak dibayarkan tanggal 3 April 2014 nanti, Satinah akan diesksekusi mati pemerintah Arab Saudi atas tuduhan pembunuhan majikan perempuannya pada tahun 2007.
Satinah berangkat ke Arab Saudi menjadi TKI setelah September 2006 mendaftar melalui Perusahaan PT Djamin Harapan Abadi. Keberangkatannya tersebut merupakan kali ke tiga setelah ditinggal sang suami. Tujuan ibu yang memiliki anak satu ini mengadu nasib ke negeri orang adalah untuk menghidupi anaknya.
"Ini yang ketiga kali (Satinah jadi TKI di Arab Saudi), jadi dia ingin (menjadi TKI) ini yang terakhir lah," kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah kepada Tribunnews, kemarin.
Satinah lantas sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di rumah majikan bernama Muhammed Al Mosaemeri di Arab Saudi. Sampai akhirnya terjadi insiden pada 18 September 2007.
Saat itu, Satinah sedang berada di dapur, tiba-tiba majikan memanggilnya sambil berteriak-teriak. Kemudian sang majikan perempuan itu menjambak dan mencaci maki Satinah.
Majikan Satinah yang marah tanpa alasan jelas, lantas menarik kepala Satinah dan berupaya membenturkan ke tembok. Satinah pun tidak berdiam diri, merasa nyawanya terancam tangannya berupaya mengambil benda yang bisa membantunya dari penganiayaan. Sebuah penggulung roti berhasil diambil lalu dipukulkan sekenanya ke majikan yang menganiayanya.
"Kemudian (benda yang dipegang Satinah) ditimpukkan ke kepala belakang atau tengkuk majikannya. Kemudian majikan langsung ambruk terus dibawa ke rumah sakit. Satinah sendiri melarikan diri dan lalu menyerahkan diri ke polisi," ungkap Anis.
Di kantor polisi, Satinah diberi kesempatan untuk mengabari keluarganya. Kabar Satinah pun terkejut. Sejak saat itu, Satinah tidak pernah lagi ada kabarnya, sampai akhirnya tahun 2008 datang seseorang perempuan bernama Sri kepada keluarga Satinah di Ungaran, Jawa Tengah. Sri mengabarkan Satinah berada di penjara.
Pengakuan Sri saat itu, ia bertemu Satinah saat mengantar majikannya membesuk seseorang yang kebetulan berada dalam satu penjara dengan Satinah. Ketika itu Satinah meminta tolong kepada Sri untuk mengabarkan keluarganya di kampung.
Keluarga pun kemudian kembali mendapatkan kabar dari Satinah pada 2009. Satinah melalui sambungan telepon mengabarkan bahwa ia berada di penjara karena dituduh membunuh majikan perempuannya dan sudah menjalani persidangan.
"Selama dua tahun menjalani proses persidangan Satinah itu tidak disediakan lawyer, tidak didampingi sama sekali. Pemerintah juga tidak tahu sama sekali," ungkap Anis.
Kemudian pada 13 Oktober 2009, kakak kandung Satinah, Paeri Al Feri mendatangi Migrant Care di Jakarta Timur mengadukan kasus yang mendera adiknya. Didampingi Migrant Care, Paeri mendatangi Kementerian Luar Negeri RI yakni bagian Direktorat Pelindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia.
Tetapi laporan tersebut tidak mendapat tanggapan, sampai akhirnya keluarga bersama Migrant Care kembali membuat laporan ke Kemenlu pada 26 September 2011. "Selama rentang waktu dua tahun itu kita terus komunikasi dengan Kemenlu tetapi jawabannya tidak ada perkembangan," ujar Anies.
Baru 2011 pemerintah mulai memperhatikan permasalahan hukum yang dihadapi para TKI termasuk Satinah setelah ramai TKI Indonesi yakni Rohyati dihukum mati.
Pemerintah bergerak dengan membentuk Satgas Penanganan TKI yang terancam hukuman mati. Posisi Satinah saat itu sudah divonis bersalah melakukan pembunuhan berencana. Kemudian sidang pun minta diulang sampai akhirnya Satinah divonis bersalah melakukan pembunuhan. "Tetapi vonisnya tetap hukuman mati," ucap Anis.
Setelah laporan ke dua, baru lah Kemenlu RI bergerak dengan mendatangi keluarga Satinah di Ungaran dengan memberikan informasi penanganan kasus Satinan melalui surat tanggal 13 Oktober 2011. Informasi penting yang disampaikan Kemenlu kepada keluarga Satinah diantaranya pihak pemerintah berupaya melakukan negosiasi dengan keluarga majikan Satinah supaya Satinah bisa terbebas dari hukuman mati.
"Keluarga korban memberikan maaf. Dengan difasilitasi dari Gubernur Gassem, keluarga korban sepakat untuk memberikan maaf dan meminta uang diyat sebesar 500 ribu real atau sekitar Rp 1,25 miliar," ungkapnya.
Namun tanpa diketahui dasarnya, uang Diyat membengkak jadi 7 juta real atau sekitar Rp 21 miliar. Hal tersebut lah yang hingga kini masih alot jadi bahan negosiasi dengan majikan Satinah.
Pembayaran uang Diyat tersebut sudah tertunda hingga empat kali. Awalnya pembayaran diyat terakhir harus dibayarkan Desember 2012, kemudian diperpanjang lagi hingga Desember 2013, diperjang lagi hingga Febuari 2014, diperpanjang lagi hingga 3 April 2014.
"Sekarang negosiasi yang kelima, saya tidak tahu akan ada negosiasi perpanjangan diyat lagi atau pemerintah akan bayar diyat. Kalau nadanya pada saat pemerintah kemarin konpers tetap tidak mau membayar dengan alasan khawatir akan terjadi preseden semua TKI akan terancam hukuman mati dan harus bayar diyat," ungkap Anies.
Dikatakan Anis, bila pemerintah memberikan bantuan hukum yang maksimal sejak awal, maka proses hukum yang dijalani Satinah tidak akan berakhir seperti saat ini. Nyawa Satinah kini hanya tergantung upaya negosiasi pemerintah Indonesia dengan keluarga majikan Satinah.
"Satinah kan kasusnya 2007 dan pemerintah baru tahu 2009. Kalau sejak awal mungkin akan berbeda ceritanya," ungkapnya.