Mantan Kapolri Desak Kapolda Metro Tuntaskan Kasus Penyerobotan Lahan di Jalan Sudirman
sejak tahun 2009, kasus ini tidak ditangani oleh Polda Metro Jaya secara profesional
Walaupun begitu kata Roesmanhadi, otak penyerobotan lahan sama sekali tidak disentuh polisi. Akibatnya kini, police line di lahan itu sudah hilang dan lahan juga digunakan oleh pihak lain.
"Padahal sengketa belum selesai. Tapi kok bisa police line hilang dan lahannya justru dipakai orang lain. Ini yang kami pertanyakan ke polisi. Kok bisa," katanya.
Roesmanhadi menerangkan awalnya kasus penyerobotan lahan ditangani Polsek Tanah Abang, lalu dilimpahkan ke Polres Jakarta Pusat.
"Tapi sekarang tidak ada kejelasan. Setelah sabar menunggu lima tahun, kami meminta polisi membuka kembali kasus ini. Tidak ada alasan bagi polisi tidak bisa menyelesaikan kasus ini dan membawanya lagi ke pengadilan. Yang utama yakni menangkap otak atau aktor intelektual yang menyuruh 19 tersangka menduduki lahan itu tahun 2009 lalu," papar Roesmanhadi.
Menarik Bagi Mantan Polisi
Roesmanhadi menjelaskan, sebagai mantan polisi apalagi bintang empat seperti dirinya, ia melihat kasus ini sangat menarik.
Kasus ini berawal dari kerjasama antara PT MRE dengan PT Taspen pada 1972. Sebagai pemilik lahan seluas 3,3 hektar di Jalan Sudirman Kavling 2, PT MRE sepakat menjual tanahnya seluas 10.000 meter persegi ke PT Taspen dan sisanya 2,3 ha akan digunakan dan dikelola sendiri oleh PT MRE.
Kemudian PT Taspen membangun gedung bertingkat di lahan 10.000 meter persegi yang dibelinya. Lalu, kata Roesmanhadi, PT Taspen menyerahkan pengelolaan gedung di lahan itu ke PT MRE dengan surat perjanjian dalam Akta Nomor 52 Tahun 1972 dengan jangka waktu tidak terbatas.
Namun kemudian pada 1982, PT Taspen melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan dua pimpinan PT MRE, Widodo Sukarno dan Rudy Pamaputera pada 1986. Kejaksaan yang menangangi kasus ini menyita lahan tanah 2,3 hektar milik PT MRE dan sejumlah asset lainnya. Dalam persidangan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan MA memvonis Widodo dan Rudy bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama. Namun untuk kepemilkan asset yang disita, termasuk tanah 2,3 ha, pengadilan memutuskan diserahkan ke pengadilan perdata, karena sesuai dengan hukum yang berlaku pengadilan perdata yang berhak menentukan status tanah tersebut.
Namun, PT Taspen melalui anak perusahaannya PT Arthaloka mengabaikan vonis itu dengan mengajukan permohonan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 25/ Karet Tengsin tertanggal 31 Maret 1992 atas lahan 2,3 hektar milik PT MRE tersebut.
Karenanya PT MRE mengajukan gugatan perdata terhadap kepemilikan lahan yang dikuasai PT Taspen dan Arthaloka ke pengadilan. Hasilnya, sampai pada tingkat Mahkamah Agung, putusannya adalah dari 2,3 ha tanah yang disita dalam kasus pidana itu, 16.600 m2 harus diserahkan kembali ke PT MRE.
Namun PT Arthaloka melalui Kementerian Keuangan melakukan upaya perlawanan hukum untuk menggagalkan eksekusi lahan tersebut.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menerbitkan Surat Nomor PTJ.PDT/555.1170/2003 perihal petunjuk/perlindungan hukum atas pelaksanaan eksekusi lahan.
"Sehingga proses eksekusi lahan gagal dilakukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan lahan tersebut aset negara," tutur Roesmanhadi.
Roesmanhadi menganggap putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu hanya menganulir penetapan eksekusi dari PN Jakarta Pusat, namun tidak menggagalkan putusan MA Nomor PK/472/PK/PDT/2000. "Jadi tidak bisa dikatakan tanah 16.600 m2 itu adalah tanah negara seperti yang dikoar-koarkan oleh PT Taspen dan Arthloka selama ini," katanya. (Budi Sam Law Malau)