Presiden SBY Jangan Terjebak pada Diplomasi PM Abbott
Guru Besar Hukum Internasional FHUI, Hikmahanto Juwana mengungkapkan Presiden SBY harus menyikapi telepon PM Abbott ini secara hati-hati.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perdana Menteri Australia Tony Abbott kemarin diberitakan menelpon Presiden SBY selama 9 menit untuk menyampaikan penyesalannya tidak dapat memenuhi undangan hadir di Bali untuk Konferensi Open Government Partnership.
Guru Besar Hukum Internasional FHUI, Hikmahanto Juwana mengungkapkan Presiden SBY harus menyikapi telepon PM Abbott ini secara hati-hati agar tidak merugikan kepentingan nasonal Indonesia.
"Ini mengingat pada waktu hampir bersamaan terdapat insiden dimana Australia mendorong kapal pencari suaka ke wilayah teritorial Indonesia. Bahkan menaikkan tiga orang lain lagi (yang sebelumnya ditahan) ke dalam kapal tersebut. Hal terakhir ini merupakan modus yang sebelumnya belum pernah dilakukan oleh otoritas Australia," jelas Hikmahanto dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Rabu (7/5/2014).
Pada pemberitaan media Australia diindikasikan ketidakhadiran PM Abbott yang sebelumnya telah dikonfirmasi bertalian tentang insiden ini.
Indonesia sebagaimana disuarakan oleh Menlu Marty Natalegawa telah mengkritik secara keras terkait kebijakan PM Tony Abbott untuk menghalau para pencari suaka ke wilayah teritorial Indonesia.
"Oleh karenanya Indonesia tidak perlu terburu-buru atau merasa bersalah dengan belum normalnya hubungan Indonesia-Australia sebelum PM Tony Abbott mencabut kebijakan unilateral menghalau kapal pencari suaka yang merugikan Indonesia," ujarnya.
Presiden tidak perlu merasa harus menanggung beban untuk memperbaiki hubungan Indonesia-Australia karena akan mengakhiri masa jabatannya di bulan Oktober.
Pemulihan hubungan akan sangat bergantung pada kebijakan PM Tony Abbott atas masalah penyadapan dan masalah pencari suaka.
"Presiden tidak boleh terjebak atas kelicikan Australia karena 'keramahan' PM Tony Abbott melakukan telepon pribadi," ungkap Hikmahanto.