Hakim Bolehkan Boediono Pidato di Persidangan Century
Majelis hakim membolehkan Boediono selaku saksi menyampaikan pidato pembelaan di penghujung persidangan kasus dugaan korupsi Bank Century
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Sanusi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis hakim membolehkan Wakil Presiden Boediono selaku saksi menyampaikan pidato pembelaan di penghujung persidangan kasus dugaan korupsi Bank Century dengan Terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Budi Mulya, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (9/5/2014).
Boediono hadir sebagai saksi sidang perkara Century ini karena dirinya berperan sebagai Gubernur BI saat kebijakan FPJP dan 'stempel' bank gagal berdampak sistemik diberikan kepada Bank Century. Akibat kebijakan itu, uang negara Rp 6,7 triliun mengucur ke Bank Century.
Mulanya, majelis hakim dipimpin oleh Aviantara menyampaikan terima kasih atas kehadiran Boediono bersedia hadir menjadi saksi perkara Century dengan terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Budi Mulya.
Belum selesai Aviantara menyampaikan kalimat terima kasihnya, Boediono memotong dan meminta izin agar bisa menyampaikan pernyataan terakhirnya selaku saksi. "Mohon saya membacakan kata terakhir," pinta Boediono yang mengenakan batik biru.
Aviantara pun mengabulkan permintaan Boediono itu.
Selanjutnya, Boediono berdiri dan membuka kertas panduan pidato penutupnya itu. Ia pun berpidato dengan mikrofon yang ada di ruang sidang tersebut.
Dalam pidato pembelaannya, Boediono kembali mengatakan bahwa dirinya sudah 30 tahun berada di dalam pemerintah dan kerap menangani bidang ekonomi.
Boediono selaku Gubernur BI saat itu mengaku tidak ragu sama sekali dalam setiap pengambilan keputusan pemberian FPJP kepada Bank Century yang saat itu kekurangan modal.
Ketidakraguan Boediono karena ia berpegangan alasan, bahwa pada saat itu memang tengah terjadi krisis di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa yang dampaknya mulai berimbas terhadap perbankan di Indonesia, termasuk Bank Century.
"Krisis ekonomi itu adalah fakta yang diketahui oleh umum, berbagai indikator keuangan menunjukkan keadaan itu, para praktisi perbankan merasakan, pemerintah merasakan, dan menerbitkan Perppu (Peraturan Pengganti Undang-undang) dan akhirnya di sahkan DPR menjadi Undang-undang," kata Boediono.
"Presiden dan juga wakil presiden mengadakan rapat-rapat yang membahas dampak krisis di Indonesia dan bagaimana menanganinya," imbuhnya.
Boediono mengatakan, saat terjadi krisis global itu, negara-negara di sekitar Indonesia seperti Thailand, Malaysia dan Korea yang terkena dampak awal krisis keuangan mempunyai kebijakan jaminan penuh atau blanket guarantee bagi nasabah yang menyimpan dananya di bank. Namun, tidak dengan Indonesia.
Bagi Boediono, untuk antisiasi terkena imbas krisis global lebih dalam terhadap perbankan di Indonesia, FPJP dan pemberian dana talangan melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah satu-satunya solusi atas krisis global yang terjadi pada saat itu.
"Krisis ekonomi adalah sebuah bencana, peristiwa dilapangan berjalan sangat cepat, sulit diantisipasi, penanganannya harus cepat, tidak berbeda dalam penanganan tanggap darurat pada bencana alam," ujarnya.
Perlakuan dari majelis hakim yang memberikan kesempatan seorang saksi atau terdakwa berpidato di tengah ruang persidangan ini adalah kali pertama terjadi.
Apalagi, majelis hakim yang dipimpin oleh Aviantara pun hanya bisa terdiam saat sejumlah staf dan pendukung Boediono bertepuk tangan riuh atas pidato tersebut.