Jaksa KPK Hadirkan Ahli Forensik Digital dalam Sidang Akil
Joko menyatakan dirinya memang pernah diminta KPK untuk menganalisa enam sampel suara dalam bentuk data digital dan tersimpan di cakram digital.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Forensik Suara Digital, Dr. Joko Sarwono mengatakan bahwa dari hasil dari analisa timnya, menyimpulkan 6 suara dalam sadapan KPK terkait kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kecocokan hingga di atas 90 persen.
Dalam kesaksiannya, Joko menyatakan dirinya memang pernah diminta KPK untuk menganalisa enam sampel suara dalam bentuk data digital dan tersimpan di cakram digital.
Contoh suara itu adalah milik Akil Mochtar, advokat Susi Tur Andayani, Tubagus Chaeri Wardhana Chasan alias Wawan, Amir Hamzah, Alming Aling, dan H. Kasmin.
Dalam perkara sama, Dosen Fisika di Institut Teknologi Bandung itu juga mendapat data berupa rekaman percakapan telepon hasil sadapan, yang dia beri kode 'unknown' (tidak diketahui).
Joko melanjutkan, sesuai dengan surat tugas dari Rektor ITB, ia diminta menganalisa kedua data elektronik itu.
Timnya lantas memakai perangkat lunak khusus untuk menganalisanya. Dia menambahkan, indikator yang mesti dipenuhi dalam mencari kecocokan suara mencakup empat hal.
Di antaranya adalah intonasi, emosi, dialek, dan frekuensi dasar manusia atau diistilahkan pitch. Pasalnya, dalam dunia forensik akustik, empat hal itu berfungsi layaknya sidik jari.
Setelah Joko menganalisa enam contoh suara berbeda dengan beberapa rekaman hasil sadapan, didapat kesimpulan tingkat kecocokannya di atas 90 persen.
Maka dari itu, timnya menilai semua suara dalam rekaman sadapan dan contoh, diucapkan oleh orang yang sama.
"Sampel yang kami periksa itu keenamnya di atas 80 persen. Komponen pitch masing-masing di atas 90 persen, dan formanya juga di atas 90 persen. Karena itu saya simpulkan, bahwa sampel suara dan suara dalam rekaman intersepsi diucapkan oleh orang yang sama," kata Joko di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (21/5/2014).
Menurutnya, lanjut Djoko, cara menganalisa suara yang dilakukan pihaknya sudah sesuai dan bisa dipakai sebagai bukti dalam model persidangan dianut di Indonesia. Sebab, tekan dia, tidak mungkin menggunakan cara memperdengarkan sampel suara itu kepada beberapa pihak saja.
"Kalau itu kan menjadi subyektif. Lebih tepat digunakan kalau sistem persidangannya menganut sistem juri. Yang saya pakai adalah cara obyektif," kata Joko.
Joko menambahkan, dalam menganalisa itu semua, pihaknya menggunakan perangkat lunak khusus dan berbayar.
Di hadapan Jaksa, majelis hakim, terdakwa dan penasehat hukumnya, Joko meyakini bahwa alat yang digunakan pihaknya sudah memiliki standar internasional dan memiliki panduan akademik.