YLBHI: Pernyataan Kapolri Jadi Pembenar Aksi Anarkis Massa
Kapolri sebagai pimpinan tertinggi Polri seharusnya bisa menjadi teladan dan garda terdepan proses penegakan hukum dan menjamin terwujudnya toleransi.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hasanuddin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) menyayangkan Kapolri Jendral Sutarman yang menyatakan rumah pribadi tidak boleh digunakan shalat Jumat dan kebaktian rutin seperti dilansir sejumlah media beberapa waktu lalu.
Ketua YLBHI Alvon Kurnia Palma mendesak Sutarman menarik kembali pernyataannya tersebut. Lewat surat terbuka kepada Kapolri yang diterima Tribunnews.com di Jakarta, Jumat (6/6/2014), pernyataan tersebut berpotensi menjadi pembenar bagi massa intoleran bertindak anarkis.
"Kapolri sebagai pimpinan tertinggi institusi Polri seharusnya bisa menjadi teladan dan garda terdepan dalam proses penegakan hukum dan menjamin terwujudnya toleransi beragama dalam tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan," ujar Alvon.
UUD 1945, UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.12 Tahun 2005 Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, serta berbagai regulasi lainnya, telah menjamin terwujudnya toleransi beragama yang sejalan dengan pemajuan penghormatan, perlindungan, penegakkan dan pemenuhan hak kebebasan beragama setiap warga negara.
Apalagi, sambung Alvion, sesuai Tribrata Polri mengatakan bahwa kewajiban mereka salah satunya memberikan perlindungan dan mengayomi masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban. "Catur Prasetya Polri juga menegaskan Polri harus memelihara perasaan tentram dan damai," sambungnya.
Kapolri seharusnya menyadari tindakan penyerangan terhadap kegiatan ibadah minggu di Selman, Yogyakarta, adalah bentuk pelanggaran pidana dan kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia, sebagaimana dijamin dan dilindungi undang-undang tersebut di atas.
Peristiwa demi peristiwa yang terus terjadi, menurut Alvon, karena lambannya kepolisian melakukan penegakan hukum. Sehingga peristiwa-peristiwa intoleransi dan kekerasan atas dasar agama terus terjadi tanpa dapat dicegah.
"Terkait dengan beberapa peristiwa yang terjadi, YLBHI juga menilai pihak kepolisian dalam hal ini sering berada dalam posisi tidak netral sebagai aparat penegak hukum. Sehingga berujung menjadi pada terjadinya sejumlah pelanggaran dalam melakukan proses penegakan hukumnya," katanya lagi.
YLBHI meminta Polri menyelidiki dan menindak tegas secara tuntas sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku atas peristiwa penyerangan oleh massa intoleran terhadap kegiatan peribadatan di Sleman, Yogyakarta dan terhadap peristiwa-peristiwa lainnya di Indonesia.