Pengamat Sarankan Jokowi Tutup Peluang Koalisi
Yang terjadi sekarang ini, lanjut Nico, kubu Jokowi-JK terkesan mengemis kepada partai di Koalisi Merah Putih untuk bergabung dengannya.
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik Populi Center Nico Harjanto menyarankan kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla menerapkan minimum winning coalition.
Langkah itu mesti dilakukan agar pemerintahan yang baru tidak tersandera secara politik oleh parlemen yang dikuasai Koalisi Merah Putih. Salah satu wujudnya adalah dengan segera menutup pintu koalisi.
Nico menjelaskan minimum winning coalition merupakan koalisi yang terdiri dari sesedikit partai politik. Koalisi ini, kata dia, dijamin lebih bebas dari politik sandera-menyandera serta lebih luwes menentukan kebijakan.
"Kalau pemerintahan Jokowi-JK inginnya cepat bekerja mewujudkan janji, harusnya berupaya adanya minimum winning coalition, supaya tidak tersandera politik DPR yang telah dikuasai KMP (koalisi merah putih)," ujar Nico, Jumat (3/10/2014) pagi.
Yang terjadi sekarang ini, lanjut Nico, kubu Jokowi-JK terkesan mengemis kepada partai di Koalisi Merah Putih untuk bergabung dengannya.
Kondisi tersebut, ujar dia, akan meningkatkan posisi tawar Koalisi Merah Putih atas Jokowi-JK dan memperlemah posisi Jokowi-JK.
Nico khawatir kondisi tawar-menawar tersebut akan menggerus prinsip "tanpa transaksi atau jatah-menjatah menteri" Jokowi, demi mendapatkan dukungan dari partai yang sebelumnya ada di Koalisi Merah Putih.
Karenanya, Nico berpendapat langkah politik yang tegas untuk menutup pintu koalisi bisa menjadi salah satu cara menaikkan posisi tawar Jokowi-JK atas Koalisi Merah Putih.
"Ini mungkin insentifnya mahal ke depan. Tapi ini jauh lebih menjanjikan bagi Jokowi-JK yang sudah punya prinsip presidensial," lanjut dia.
Nico mengatakan bahwa kunci terpenting adalah program-program pemerintah Jokowi-JK mesti populer di mata publik.
Dengan demikian, ganjalan apapun dari Koalisi Merah Putih tidak akan berimbas pada penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah, karena ada pemahaman publik bahwa program yang tidak berhasil itu bukan kesalahan pemerintah.