"Kartu Sakti" Jokowi Dinilai Tidak Ampuh
Kata Mahadi Rahman, Peneliti AirMobilization (AirMob), sebuah lembaga monitoring data dan analisa sosial media.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi oleh pemerintahan Jokowi-JK mengundang banyak kritik. Pasalnya, alasan untuk menaikkan harga BBM dinilai kurang tepat di tengah tren harga minyak dunia yang sedang turun.
Demikian disampaikan Mahadi Rahman, Peneliti AirMobilization (AirMob), sebuah lembaga monitoring data dan analisa sosial media.
Menurut dia, pemerintahan Jokowi-JK sebenarnya bisa mengambil kebijakan populis terlebih dahulu seperti transportasi murah, dan memberdayakan energi baru terbarukan sebelum menaikkan harga BBM.
"Meskipun ada kompensasi pengalihan BBM bersubsidi dengan kebijakan 'Kartu Sakti'-nya, hal itu belum bisa dirasakan oleh masyarakat secara luas," kata Mahadi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/11/2014).
Mahadi menuturkan, kebijakan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) Jokowi dimana per keluarga mendapatkan kompensasi sebesar Rp 400 Ribu per dua bulan selama delapan bulan tidak ada bedanya dengan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) pemerintahan SBY.
"Sudah jelas kebijakan yang memberikan uang secara tunai itu tidak mendidik dan dapat membuat celah korupsi baru. Masalahnya adalah apakah daftar orang miskin menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) sudah sesuai sehingga alokasi KKS bisa tepat sasaran?" tanyanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.