Cerita Istri Pollycarpus: Saya Menjalani Hidup Seperti Tanpa Persiapan
Yosepha Hera Indaswari, kaget ketika suaminya, Pollycarpus Budihari Priyanto mulai menjalani hari-hari sebagai tertuduh pembunuh munir
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yosepha Hera Indaswari, ibu tiga anak yang kini beranjak dewasa, kaget ketika suaminya, Pollycarpus Budihari Priyanto mulai menjalani hari-hari sebagai tertuduh pembunuh pejuang hak asasi manusia Munir Said Thalib.
Hera kaget atas tuduhan pelik yang dihadapi suaminya. Dia juga terenyak karena kehidupannya berubah drastis sejak Polly ditahan, Maret 2005. Hera yang seumur pernikahannya fokus ke urusan domestik, harus menerima kenyataan, Polly tak bisa mencari nafkah untuk keluarga.
Jika dianalogikan ke dunia penerbangan, apa yang dihadapi Hera mirip situasi di mana pilot tak sadarkan diri dan pesawat memasuki turbulensi yang sangat hebat. Mau tak mau, sang kopilot pun mengambil peran captain in command lalu menyeimbangkan pesawat agar tak terempas.
Di tempat berbeda, Suciwati, istri Munir, dan anak-anaknya mengalami situasi yang lebih rumit. Bahkan, sampai hari ini pun, tak ada jawaban gamblang mengapa dan siapa yang tega memisahkan Munir dari keluarganya.
Hera mengaku, seumur-umur ia tidak pernah bekerja secara formal. Ekonomi rumah tangganya ditopang sepenuhnya oleh Polly yang berprofesi sebagai pilot Garuda Indonesia. Pada tahun 2005, gaji Polly sekitar Rp 40 juta per bulan.
Untuk beberapa saat, Hera tak bisa berpikir. "Saya tidak ada ide. Saya hidup seperti tanpa persiapan. Selama ini saya hanya menggantungkan diri dari penghasilan suami. Saya kerjanya cuma di rumah, kalau liburan jalan-jalan," ujar Hera di rumahnya di kompleks Pamulang Indah Permai, Kota Tangerang Selatan, Banten, Senin (1/12).
Hera mengaku sempat bingung pada awal masa penahanan suaminya. "Seperti antara hidup dan mati," ujarnya.
Perlahan-lahan, Hera dapat menerima kenyataan. Ia pun mulai memahami arah kasus yang menjadikan suaminya sebagai tersangka. Hera mengaku ikhlas menerima kenyataan suaminya dipenjara dan ia harus mengambil alih perannya sebagai kepala rumah tangga.
Dalam situasi itu, Hera senantiasa membesarkan hati ketiga anaknya, Mega, Gad, dan Ruth.
"Yang saya lakukan adalah membesarkan hati anak-anak saya. Jangan takut tidak punya uang, uang dapat dicari, yang terpenting cita-cita tercapai. Saya bilang, uang tidak perlu dirisaukan. Padahal, sebenarnya saya risau. Tapi untuk menguatkan anak-anak saya, saya harus bilang seperti itu," ujarnya.
Menurut Hera, ketiga anaknya dapat mengerti dan menerima apa yang terjadi. Saban hari, selama Pollycarpus ditahan, Hera bersama ketiga anaknya menjalani hidup normal. Ketika Hera menekuni usaha telur asin asap, ketiga anaknya juga terlibat dalam proses produksinya.
"Saya anggapnya seru (asyik-Red), begitu juga anak-anak. Apabila saya naik motor mengantar anak sekolah, kami ke pasar dulu untuk belanja. Saya tekankan kepada anak saya apabila menemui kesulitan jangan menjerit dan apabila senang jangan tertawa," katanya.
Hera mengaku memiliki tabungan. Namun ia memperhitungkan. tabungan itu pasti akan segera habis untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan ketiga anaknya. Sedangkan karier Polly, sudah pasti tamat.
Hera pun memutuskan untuk menjalankan usaha agar ada pemasukan. Saat itu, masyarakat sedang gandrung ekstrak buah merah. Buah khas Papua itu disebut manjur untuk mengobati beberapa jenis penyakit.
Hera lalu menghubungi rekan-rekannya yang tinggal di Papua dan minta dikirimi buah merah. Hera juga mencari tahu teknik pengolahan buah merah di internet.
"Saya buat ekstrak buah merah. Satu buah merah hanya menghasilkan 150 cc. Saya taruh di botol lalu saya jual," ujar Hera.
Masalah lain muncul. Calon pembeli mencurigai buah merah racikan Hera. "Menjual ekstrak itu berat karena suami saya dituduh meracuni orang, sedangkan saya justru menjual obat (herbal). Tentu saya kesulitan memasarkannya," katanya.
Berkat bantuan tetangga, perlahan-lahan pembeli mulai percaya. Mereka juga menjadi pelanggan tetap. Kepada pelanggan baru, Hera menjelaskan bahwa ia adalah istri Pollycarpus, terpidana kasus pembunuhan Munir.
"Ada pembeli datang ke rumah, lalu saya kasih tahu jika saya ada masalah, saya ceritakan kasus yang menimpa suami saya, sekadar untuk mengingatkan mereka, karena saya takut dijebak," katanya.
Rupiah demi rupiah yang terkumpul dari penjualan ekstrak buah merah itu, kata Hera, digunakan untuk melunasi uang pendaftaran anak sulungnya yang diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Atmadjaya. Uang muka itu sebesar Rp 65 juta.
"Satu botol isi 100 cc ekstrak buah merah saya juga seharga Rp 150 ribu. Dalam sehari saya bisa bikin 10 hingga 20 botol. Jadi, sehari saya bisa dapat Rp 2 juta sampai Rp 3 juta. Uang seperti jatuh dari langit, hingga saya lunasi uang muka anak saya yang masuk fakultas kedokteran," ungkapnya.
Tak lama setelah anak Hera masuk fakultas kedokteran, pamor buah merah meredup. Maka, dicarilah usaha yang lebih prospektif. Hera kemudian memutuskan untuk menjual virgin coconut oil (VCO) yang saat itu sedang laris.
"Saya belajar lagi. Saya juga ke Glodok untuk belanja bahan-bahannya," kata Hera.
Hera yang dibantu dibantu tetangganya menjual VCO seharga Rp 15 ribu per 100 cc. "Untungnya menggiurkan, setiap penjualan Rp 150 ribu, untungnya Rp 120 ribu," kata perempuan asal Yogyakarta itu.
Seperti ekstrak buah merah, pamor VCO juga meredup dan Hera pun menghentikan produksinya.