Aziz Minta Yance Dibebaskan, Ini Tanggapan Jaksa Agung
Jaksa Agung, HM Prasetyo membantah ada kepentingan atau agenda tertentu di balik pihaknya menahan mantan Bupati Indramayu, MS Syafiuddin
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung, HM Prasetyo membantah ada kepentingan atau agenda tertentu di balik pihaknya menahan mantan Bupati Indramayu, MS Syafiuddin alias Yance. Ia menegaskan, penahanan Yance semata demi kelancaran penyelesaian perkaranya.
"Tidak ada kepentingan lain apapun selain demi kelancaran proses penyelesaian perkaranya," kata HM Prasetyo, Jakarta, Kamis (11/12/2014).
Pernyataan ini disampaikan Jaksa Agung menanggapi desakan Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin agar Yance selaku tersangka kasus dugaan korupsi pembebasan lahan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indramayu Tahun Anggaran 2004, dibebaskan dari tahanan.
Aziz yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar versi Munas Bali itu mensinyalir ada agenda atau kepentingan tertentu di balik penahanan Yance yang juga Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat itu.
Alasan lain Aziz minta Yance dibebaskan, karena ada dua terdakwa kasus yang sama telah mendapatkan putusan lepas dari tuntutan di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA).
Prasetyo menjelaskan, kejaksaan sudah menangani perkara tindak pidana korupsi yang menjerat tersangka Yance ini sejak empat tahun yang lalu atau 2010.
Dengan begitu, penanganan perkara Yance terbilang terlambat dan terkesan berlarut penyelesaiannya. Hal itu, antara lain hanya dikarenakan Yance selaku tersangka justru tidak kooperatif kepada kejaksaan.
"Dengan berbagai alasan tidak memenuhi panggilan penyidik dan tidak memenuhi kewajiban hukum yang harus dipatuhinya," ujarnya.
Kejagung menahan mantan Bupati Indramayu, MS Syafiuddin alias Yance selaku tersangka di Rutan Kejagung pada Jumat, 5 Desember 2014.
Sebetulnya Yance sejak 13 September 2010 sudah menjadi tersangka dugaan korupsi pembebasan lahan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tahun Anggaran 2004 senilai Rp 42 miliar. Kasus tersebut ditaksir merugikan negara Rp 4,1 miliar.