Pemilik Rekening Gendut: Dua Mantan Gubernur, Satu Gubernur Aktif, Lima Bupati dan Mantan
Selain proses hukum, Kejaksaan Agung juga harus mengungkap secara terbuka dari mana sumber dana delapan rekening gendut kepala daerah.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Kejaksaan Agung diminta serius dalam menindaklanjuti temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mengenai delapan rekening gendut kepala daerah. Selain proses hukum, Kejaksaan Agung juga harus mengungkap secara terbuka dari mana sumber dana tersebut.
Harapan itu disampaikan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, Selasa (16/12), di Jakarta, menanggapi keterangan Kejaksaan Agung (Kejagung) mengenai tindak lanjut laporan delapan rekening gendut kepala daerah yang diserahkan PPATK kepada Kejagung pada 2 Desember lalu.
”Lebih dari 90 persen korupsi terjadi di daerah. Untuk itu, kejaksaan harus menindaklanjuti dengan serius dan cepat temuan PPATK ini,” kata Ade Irawan.
Kemarin, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Tony Tribagus Spontana mengungkapkan tindak lanjut Kejagung atas laporan PPATK mengenai delapan rekening gendut kepala daerah. ”Mereka terdiri dari 2 mantan gubernur, 1 gubernur aktif, serta 5 bupati dan mantan bupati,” ujar Tony.
Hingga kini, dari delapan rekening gendut itu, satu kasus telah masuk tahap penyelidikan dan satu kasus masuk tahap prapenuntutan. Sementara itu, berkas enam rekening lainnya masih dalam proses kajian Kejagung.
Gubernur dan bupati
Kepala Subbidang Penyidikan di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Sarjono Turin menambahkan, kasus rekening gendut yang kini masuk tahap penyelidikan adalah kasus Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Sementara berkas yang sampai tahap prapenuntutan adalah berkas mantan Bupati Klungkung, Bali, I Wayan Candra.
I Wayan Candra saat ini menjadi tersangka dalam kasus pengadaan lahan pembangunan Dermaga Gunaksa senilai Rp 17 miliar. Kekayaan I Wayan Chandra ditemukan lebih dari Rp 10 miliar. Saat ini, yang bersangkutan sudah ditahan Kejaksaan Negeri Klungkung.
Sementara untuk Nur Alam, menurut Sarjono, nama Nur Alam ditelusuri karena ada laporan transaksi mencurigakan di rekeningnya yang mencapai 4,5 juta dollar Amerika Serikat atau senilai Rp 56 miliar. Total kekayaannya sesuai dengan laporan harta kekayaan penyelenggara negara mencapai Rp 31,1 miliar.
Mengenai langkah hukum itu, ICW mendorong pihak Kejagung agar menelusuri sumber-sumber dana dari rekening gendut tersebut sampai tuntas.
”Apakah dana itu berasal dari sumber legal atau ilegal, itu perlu diketahui. Apabila memang dari ilegal, harus ditelusuri lagi,” ujar Ade.
Menurut Ade, dana ilegal di rekening gendut para kepala daerah diduga berasal dari berbagai sumber. Beberapa kemungkinan berasal dari rekanan pelaksana proyek APBN atau APBD, setoran birokrasi yang biasanya berasal dari satuan kerja perangkat daerah, atau suap dari pengusaha yang ingin mendapatkan perizinan lahan, konsesi, atau proteksi.
Dibentuk satuan khusus
Selanjutnya, Tony menyampaikan, untuk semakin mempercepat penuntasan kasus korupsi, Kejagung akan membentuk satuan petugas khusus tindak pidana korupsi yang berada di bawah Jampidsus. Satuan khusus itu dijadwalkan mulai efektif pada awal 2015. ”Saya yakin satgas ini akan diberi pekerjaan rumah terkait kasus yang belum selesai dan kasus yang saat ini sedang ditangani,” katanya.
Menurut Tony, anggota satuan khusus ini merupakan gabungan dari jaksa yang pernah bertugas untuk Komisi Pemberantasan Korupsi. Saat ini, sejumlah jaksa ini tengah bertugas di daerah. ”Ada yang menjadi kepala kejaksaan tinggi, kepala kejaksaan negeri, bahkan atase di luar negeri,” katanya.
Kejagung akan menarik empat jaksa di KPK yang masa tugasnya berakhir, yakni maksimal selama 10 tahun. ”Kami akan memberikan lebih dari empat untuk diseleksi menggantikan empat jaksa yang habis masa tugas di KPK,” ujar Tony. (IAN)