Rekening Gendut Kepala Daerah Mengalir dari Perusahaan ke Keluarga
Kejaksaan Agung dan KPK mengusut rekening gendut dan transaksi mencurigakan sepuluh kepala daerah dan mantan kepala daerah.
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut rekening gendut dan transaksi mencurigakan sepuluh kepala daerah dan mantan kepala daerah. Modusnya, rata-rata mengalirkan sejumlah uang sebagai fee atas proyek di wilayahnya.
Kejagung mendapatkan Laporan Hasil Analisis (LHA) transaksi mencurigakan delapan kepala daerah dan mantan kepala daerah dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Saat ini, korps Adhiyaksa tersebut tengah menelusuri rekening gendut dan transaksi mencurigakan delapan kepala daerah.
"Pola transaksi, ada yang dari perusahaan yang pemenang tender atau penunjukan, mengalir ke keluarganya, kerabatnya dan ada yang mengalir ke perusahaannya," kata Kepala Sub Direktorat Penyidikan Pidana Khusus (Kasubdit Pidsus) Kejagung, Sarjono Turin, Jakarta, Kamis (18/12/2014).
Informasi yang diperoleh Tribun, mereka adalah Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam; mantan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo atau Foke; Bupati Seruyan, Kalimantan Tengah, Sudarsono; mantan Bupati Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Achmad Amur.
Kemudian, Bupati Bengkalis, Riau, Herliyan Saleh; Bupati Rejang Lebong, Bengkulu, Suherman; dan mantan Bupati Klungkung, Bali, I Wayan Candra. Selain itu, ada transaksi mencurigakan seorang gubernur aktif ditangani pihak Kejagung belum diketahui informasi rinciannya.
"Saya belum tahu siapa LHA satu gubernur lagi. Tapi, kalau Gubernur Sumsel dan Gubernur Jawa Barat di kami nggak ada. Karena kan LHA PPATK juga ada yang diserahkan ke KPK dan Bareskrim Polri," kata Sarjono.
Menurut Sarjono, sejauh ini pihaknya baru sebatas fokus menelusuri transaksi mencurigakan tiga kepala daerah dan mantan kepala daerah.
Ketiganya, yakni Gubernur Sultra Nur Alam yang sudah pada tahap penyelidikan, mantan Bupati Pulang Pisang Achmad Amur yang pada tahap penelaahan dan mantan Bupati Klungkung I Wayan Chandra yang sudah tahap penuntutan atau segera disidangkan.
Sementara, lima kepala daerah lainnya masih pada tahap evaluasi dan penelaahan Kejagung.Menurut Sarjono, perkara mantan Bupati Klungkung berawal adanya tindak pidana korupsi dalam pengadaan dan pembebasan lahan untuk Dermaga Gunaksa pada 2007 senilai Rp 17 miliar dan kerugian negara ditaksir sekitar Rp 11,7 miliar.
Kejari Klungkung menetapkan I Wayan Chandra sebagai tersangka tindak pidana korupsi lantaran ditemukan alat bukti penyalahgunaan wewenang selaku bupati dan aliran dana kepadanya terkait proyek tersebut.
Dia diduga melakukan penunjukan langsung perusahaan pemenang tender. Apalagi, terjadi penggelembungan nilai harga tanah dalam pembebasan lahan untuk dermaga itu.
"Dia ada proyek pembebasan lahan itu. Jadi, sebetulnya proyek itu sudah dijanjikan (disepakati) sebelum lelang. Sebetulnya, penunjukan perusahaan rekanan dilakukan secara formalitas belaka sehingga dari situ dia dapat keuntungan. Dan sebetulnya proyek itu sampai sekarang nggak kelar, amburadul," ungkap Sarjono.
Dalam LHA dari PPATK, terkuak adanya aliran dana dari perusahaan yang memebaskan lahan ke rekening keluarga, kerabat dan ke tiga perusahaan milik I Wayan Chandra. Ketiga perusahaan milik I Wayan Chandra, yakni PT Bahtera Sujudu Anugrah (BSA) bidang agen travel serta PT Chandra Perkasa Karya Mandiri (CPKM) dan PT Bali Perkasa Internasional yang bergerak dalam bidang outsourcing.
"Iya, ada aliran dana ke keluarganya, kerabatnya sampai perusahaan-perusahaannya itu," jelas Sarjono.
Hasil pengembangan dari LHA transaksi mencurigakan rekening I Wayan Chandra, kejaksaan juga menemukan bukti adanya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukannya. Karena itu, Chandra juga juga dijerat dengan TPPU.
Modus operandi lebih kurang sama terjadi saat menelusuri transaksi mencurigakan dari rekening mantan Bupati Pulang Pisau, Achmad Amur.
Menurut Sarjono, berdasarkan temuan PPATK, diketahui adanya aliran dana lebih Rp 1 miliar ke Achmad Amur dan kepala dinas sehingga patut diduga terkait suatu proyek terdahulu.
"Transaksi sebesar itu tidak sesuai dengan profil dia selaku kepala daerah setingkat bupati. Itu tidak sesusai profilnya, kan gaji saja nggak sampai Rp 1 M. Itu yang dicurigai," kata Sarjono.
Secara terpisah, Wakil Ketua PPATK Agus Santoso menjelaskan, transaksi mencurigakan terkait Achmad Amur masih baru mengalir ke kepala dinas dan belum sampai Achmad Amur.
Sementara itu, untuk penelusuran transaksi mencurigakan Gubernur Sultra, Nur Alam, Kejagung mendapat kesulitan.
Padahal, Pidsus Kejagung telah memberangkatkan tim jaksa penyidik ke Hong Kong untuk menelusuri Lie Chen Wei, pihak yang mengatasnamakan Richcorp, perusahaan jual beli nikel yang mengirim dana 4,5 juta Dollar AS atau senilai Rp 56,3 miliar (Rp 12.518/Dollar AS) ke Nur Alam pada 2010.
"Setelah di cek di Hong Kong, ternyata perusahaan Richcorp itu sudah tidak beroperasi sejak lama. Lie Chen Wei juga tidak ada di perusahaan itu. Dia itu semacam broker aja yang seolah-olah jual beli nikel," jelas Sarjono.
Meski begitu, Pidsus Kejagung terus menyelidiki rekening gendut dan aliran dana ke Nur Alam, di antaranya dengan memulai penelusuran dari 'bawah'.
Dalam waktu dekat, Pidsus Kejagung akan memeriksa sejumlah pihak swasta dan sejumlah kepala dinas Pemprov Sultra.
"Kami tidak bisa setengah hati, ini harus tuntas. Kalau setengah hati, endingnya nggak baik. Kalau pemeriksaan untuk Gubernur Sultra, sementara belum," ujarnya.