Langkah Kejagung Hargai Proses PK Terpidana Mati Tak Salahi Aturan
Sikap Kejagung menunda eksekusi dua terpidana mati yang mengajukan peninjauan kembali (PK) tak menyalahi aturan tidak menyalahi aturan
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Budi Prasetyo
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogayakarta Mudzakir menilai, sikap Kejaksaan Agung (Kejagung) menunda eksekusi dua terpidana mati yang mengajukan peninjauan kembali (PK) tak menyalahi aturan tidak menyalahi aturan.
Menurutnya, adalah hak yuridis terpidana mati untuk mengajukan PK. Terlebih Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 menyatakan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali selama terdapat novum (bukti) baru.
"Hak terpidana harus diihargai, tidak boleh dinafikkan. Hak terpidana mengajukan PK sah-sah saja jika merasa ada bukti baru," kata Mudzakir kepada wartawan, Minggu (28/12/2014).
"Kalau mau dieksekusi ternyata terpidana mengajukan PK, maka harus dihargai hingga prosesnya berakhir," tambahnya.
Dikatakan Mudzakir, PK sekaligus berfungsi sebagai kontrol atau evaluasi dari kemungkinan terjadinya human error dalam putusan-putusan sebelumnya.
Dirinya mengatakan, Mahkaman Agung (MA) sebagai pihak yang memiliki otoritas wewenang harus segera memproses sehingga kepastian hukum dapat diberikan.
"Tugas MA harus segera memproses apakah novum diajukan diterima. Kalau MA mempertimbangkan tidak membuat perkara bebas, maka eksekusi hukuman mati bisa lakukan. MA jangan menjual waktu. MA harus cepat memproses PK itu," kata Mudzakir.
Sementara ittu pakar hukum pidana Universitas Trisaksi Jakarta Abdul Fickar Hadjar mengemukakan, meski bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), hukuman mati masih menjadi hukum positif dalam artian masih berlaku di Indonesia.
"Karenanya pemerintah sebagai penegak hukum, dalam hal ini kejaksaan harus tetap melaksanakan itu," tandasnya.
Fickar menilai MA harus melihat secara seksama apakah materi PK yang diajukan terpidana memiliki perubahan atau tidak.
"Harus dilihat sudah berapa kali PK. Kalau Isinya diiajukaan itu-itu saja, maka tidak ada alasan untuk menunda eksekusi. Tapi secara formal orang mengajukan upaya hukum maka harus dihormati. Walau MA menegaskan tidak menunda eksekusi tapi harus diperhatikan juga," kata Fickar.
Dia menambahkan, untuk mencegah agar PK tidak dijadikan alat oleh terpidana untuk mengulur pelaksanaan eksekusi, maka MA harus memiliki terobosan dengan mengeluarkan surat edaran MA (SEMA).
"MA yang punya otoritas harus mengeluarkan surat edaran. PK dengan materi sama yang berkali-kali diajukan bisa ditolak. Atas dasar itu, kejaksaan bisa melakukan ekseskusi. Harus ada ketentuan MA, misal PK sampai tiga kali dengan materi itu-itu saja harus diltolak. Tidak bisa Kejaksan Agung memaksakan jika PK masih dilakukan," katanya.