Soal Kapolri, Hak Prerogatif Presiden dan Kewenangan DPR Jangan Dilanggar
Pakar antropologi politik Prof Dr Subur Budhisantoso, menegaskan, Presiden Jokowi secara resmi telah mengirimkan calon Kapolri Komjen Pol Budi Guna
Penulis: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar antropologi politik Prof Dr Subur Budhisantoso, menegaskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi telah mengirimkan nama Komjen Pol Budi Gunawan ke DPR sebagai calon pengganti Kapolri Jenderal Pol Sutarman.
Rakyat Indonesia harus menghargai sikap presiden dan mendukung penuh apa yang dilakukan presiden.
"Pemilihan calon Kapolri, itu hak prerogatif presiden. Rakyat harus bisa mengembalikan hak itu kepada presiden, dan bukan sebaliknya yang justru merebut hak presiden," kata Prof Dr Subur Budhisantoso, saat dihubungi wartawan, Senin (11/01/2015)
Karena pada tahapan ini, lanjutnya, presiden telah menggunakan hak prerogatifnya untuk memilih calon Kapolri dan menyerahkannya kepada DPR. Tahapan selanjutnya, kewenangan ada di tangan DPR untuk menjalankan fit and propert test.
"Kita percayakan (pemilihan calon Kapolri) kepada presiden, karena itu memang hak prerogatif presiden. Dan untuk fit and propert test, kita serahkan kepada DPR, karena itu memang tugas DPR," katanya.
Pakar antropologi politik ini menambahkan, rasanya tidak tepat jika ada pihak-pihak yang berusaha memaksakan kehendaknya atau memasukkan ide-ide mereka terkait pencalonan Kapolri. Karena semuanya sudah ada aturan main dan semua pihak mengetahui aturan itu. "Kalau itu dilakukan, pasti bertentangan dengan perundangan yang berlaku," katanya.
Ia memisalkan, dalam perundangan sudah jelas disebutkan kalau pemilihan Kapolri adalah hak prerogatif presiden. Semua pihak harus menghargai itu. Tidak perlu mendesak-desak presiden agar dirinya atau pihak lain dilibatkan dalam penentuan calon Kapolri.
Juga terkait fit and proper test calon Kapolri, lanjutnya, adalah kewenangan DPR. Karena itu, dirinya tidak sependapat jika ada pihak-pihak yang mendesak untuk dilibatkan dalam pemeriksaan calon Kapolri. "Itu kan sama saja tidak percaya kepada DPR dan bahkan merebut kekuasaan.
Selain itu ia mengungkapkan, kapasitas DPR dalam hal ini sifatnya hanya memberi tanggapan atau penilaian terhadap calon yang diajukan presiden.
Terkait adanya desakan agar dilibatkannya KPK dan PPATK, menurut mantan Ketua Umum Partai Demokrat 1 (2001-2005) ini, pelibatan ini justru akan memunculkan sistem 'barter'. Karena akan membuka peluang manipulasi.
Ia mengingatkan, sistem penggantian kapolri ini harus diatur lebih baik lagi. Sistem yang ada saat ini bisa menimbulkan rivalitas dan permusuhan antar kelompok di tubuh Polri sendiri.
"Siapa pun calon yang terpilih sebagai Kapolri, akan selalu dimusuhi. Ini akan memecah Polri," katanya.
Ia menambahkan, intervensi berlebihan terhadap presiden dalam menentukan pilihan pejabat, terutama di kalangan TNI Polri dapat mengancam soliditas internal dan esprit de corp dan ketahanan nasional yang harus dibina.
Kondisi ini dapat mengakibatkan rivalitas antar calon dan kelompok pendukung masing-masing dapat mengancam solidotas TNI Polri.