Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Denny Indrayana: Bebaskan BW, Tangkap BG

Denny Indrayana, menilai, kasus hukum yang menimpa Bambang Widjojanto berbeda dengan kasus yang menjerat calon Kapolri Komjen Budi Gunawan

Editor: Rachmat Hidayat
zoom-in Denny Indrayana: Bebaskan BW, Tangkap BG
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, menilai, kasus hukum yang menimpa Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto berbeda dengan kasus yang menjerat calon Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan.

Menurut Denny, kasus Bambang adalah upaya kriminalisasi sehingga harus dihentikan prosesnya. Sementara, kasus Budi murni dugaan tindak pidana korupsi sehingga harus dilanjutkan hingga persidangan.

"Memang penyikapan untuk BW dan BG harus beda. BW harus dihentikan karena kriminalisasi, BG harus diteruskan karena korupsi. Sangat amat mudah untuk menarik penyikapan berbeda untuk keduanya," kata Denny di Jakarta, Selasa (27/1/2015).

Denny mengatakan, ia tahu indikasi tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan Budi Gunawan. Ia mengaku telah membaca dokumen terkait aliran dana puluhan miliar kepada Budi Gunawan yang dinyatakan wajar oleh Bareskrim Polri pada 2010. Menurut Denny, aliran dana tersebut patut dipertanyakan.

Pasalnya, uang puluhan miliar masuk ke rekening anak Budi yang baru berusia 19 tahun. Alasan mengenai asal usul uang tersebut pun dinilainya tidak masuk akal.

"Anak 19 tahun yang belum pernah bisnis, dari bank di luar negeri yang enggak jelas dalam rupiah, tanpa agunan, dan diberikan dalam bentuk cash. Bayangkan, cash, bukan ditransfer, silahkan teman-teman di bank nilai tingkat kewajaran kata Bareskrim," kata dia.

Di sisi lain, Denny menilai, kredibilitas Bambang tak perlu diragukan. Bambang juga sosok relijius yang dikenal di kalangan pengacara yang pernah bekerja satu tim dengannya.

Berita Rekomendasi

"Saya dan teman-teman menyaksikan religiusitas yang tetap melekat pada diri BW, istiqomah, memberikan pelajaran terbaik kepada kita bahwa keteguhan dan kesungguhan dalam beribadah akan memberi energi positif pada lingkungan sekitar," kata Denny, mengutip testimoni Hasrul Halili.

Denny yang pernah menjadi anggota tim delapan kasus Bibit-Chandra ini menila,i ada pola kriminalisasi yang sama yang dituduhkan kepada Bambang dengan yang dituduhkan kepada Bibit dan Chandra.

Merujuk pada kasus Bibit dan Chandra, Denny mengatakan, bukti yang diajukan Kepolisian ketika itu tidak layak untuk diuji dalam persidangan. Ia mencontohkan keterangan penyidik Polri yang menurutnya tidak cukup membuktikan ada aliran dana suap yang diterima Chandra.

"Kami tanya mana bukti Chandra terima suap? Dijawab, 'Ada mobil KPK di Pasar Festival dan bukti parkirnya hari, tanggal, jam Sekian Pak,' kata penyidik'. Kami tanya lagi, lho bagaimana ada mobil KPK kok bisa disimpulkan ada Chandra terima suap? Dijawab 'Infonya demikian Pak'. Loh masak yang beginian masuk pengadilan? Padahal konsekuensinya kalau ke pengadilan, Chandra-Bibit diberhentikan, KPK-nya lumpuh," papar Denny.

Di sisi lain, lanjut dia, Chandra bisa membuktikan dengan puluhan saksi, dan data CCTV bahwa pada saat yang dituduhkan menerima suap tersebut ia tengah berada di Gedung KPK untuk memimpin operasi suatu kasus. Demikian pula dengan Bibit yang bisa menunjukkan dengan foto dan saksi bahwa dia tengah berada di luar negeri ketika dituduh menerima suap.

"Masak kasus begituan dibawa ke pengadilan? Jelas-jelas kasus enggak jelas, justru harus berhenti di luar pengadilan," kata Denny.

Mengenai kasus Bambang, Denny yakin mantan pengacara itu memiliki bukti yang kuat. Namun, Denny belum bisa mengungkapkan bukti-bukti dugaan kriminalisasi tersebut kepada publik karena takut menganggu strategi Bambang dalam membela diri nantinya. Terkadang, lanjut Denny, hukum harus berlaku berbeda untuk mencapai suatu keadilan.

"Jadi memang penanganannya memang harus beda. Bebaskan BW, tangkap BG. Membawa keduanya ke pengadilan, seakan adil, padahal justru menyesatkan," kata dia.

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas