Kata Refli Harun, Jokowi Selalu "Dihantui" Pemakzulan
Hal itu terlihat pula saat Jokowi menghadapi persoalan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Refli Harun menilai Presiden Joko Widodo selalu dibayangi ancaman pemakzulan ketika akan mengambil keputusan.
Hal itu terlihat pula saat Jokowi menghadapi persoalan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri.
"Saya menulis seringkali Jokowi ditakuti dengan pemakzulan. Kalau (Budi Gunawan) tidak dilantik (ada) pemakzulan, kalau dilantik justru dimakzulkan," kata Refli di Bakoel Koffie, Jakarta, Minggu (1/2/2015).
BACA: Denny Sebut Budi Gunawan Pakai Jurus "Dewa Mabuk"
Padahal, lanjut Refly, pemakzulan dilakukan bila Presiden melakukan pelanggaran hukum yang berat seperti pengkhianatan terhadap negara, suap atau korupsi. Dapat pula melakukan perbuatan yang tercela.
"Mana yang tercela mengangkat Kapolri tersangka atau tidak? Pemakzulan masih jauh," tuturnya.
Menurut Refli saat ini Jokowi sedang melihat aspek hukum, politik dan publik mengenai permasalahan Budi Gunawan yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Itulah sebabnya Jokowi menunda tidak membatalkan dan melantik Budi Gunawan.
"Dilantik atau tidak sama problematikanya. Sebahai contoh. Apakah Presiden Jokowi bisa mengajukan calon Kapolri baru. Pastilah, pakar hukum berbeda pendapat lagi," katanya.
Ia pun menjelaskan Jokowi memungkinkan mengganti calon pejabat publik. Setidaknya ada empat kategori penunjukkan pejabat publik.
Dia mencontohkan pejabat publik yang ditunjuk Presiden tanpa harus ada persetujuan dari lembaga lain.
"Misalnya menteri, kalau di-reshuffle tidak ada persoalan," imbuhnya.
Kemudian penunjukkan pejabat publik dengan konfirmasi kepada lembaga lain seperti DPR. Contohnya penunjukkan Panglima TNI atau Kapolri.
Lalu ada pula pejabat publik yang dipilih melalui tim seleksi seperti komisioner KPU atau Bawaslu. Terakhir, pejabat publik hasil seleksi lembaga lain. Presiden tinggal mengeluarkan keppres seperti Hakim Agung dan Hakim MK.
"Jadi masih ada ruang bagi Presiden mengganti calon yang di fit and proper test, misalnya yang bersangkutan selingkuh atau tercela, masa Presiden engga bisa mengganti," ujarnya.