“Situs Penyebar Berita Palsu dan Kebencian yang Harusnya Diblokir”
Tindakan pemerintah memblokir situs bermuatan radikal seharusnya diteruskan dengan memblokir media dan situs berita palsu atau penyebar kebencian
TRIBUNNEWS.COM - Tindakan pemerintahan Joko Widodo memblokir sejumlah situs yang dituding bermuatan radikal seharusnya diteruskan dengan memblokir media dan situs penyebar berita palsu atau penyebar kebencian, asalkan memiliki dasar asumsi yang kuat.
“Jika pemerintah Jokowi ingin berlindung di balik jargon revolusi mental, harusnya tidak setengah-setengah. Sekalian saja memblokir media dan situs penyebar kabar bohong atau penyebar kebencian. Sayangnya, saya ragu!” ujar Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata, Algooth Putranto.
Hal yang meragukan menurutnya adalah minimnya koordinasi antar lembaga saat mengambil tindakan tersebut. Indikasi yang paling jelas adalah ketidaktahuan Dewan Pers dalam pengambilan kebijakan blokir tersebut.
“Dalam sepengetahuan saya, lembaga yang bertanggung jawab terhadap media massa yaitu Dewan Pers justru tidak diajak bicara. Padahal jika ada rekomendasi Dewan Pers, kebijakan tersebut akan memiliki dasar argumentasi yang kuat dan tidak mematik asumsi ngawur soal pengekangan kebebasan berekspresi atau anti Islam,” tuturnya.
Apalagi, lanjut dia, kejadian ini hanya berjarak beberapa bulan sejak bocornya dokumen rahasia dari sebuah lembaga eksternal pemerintah ke Presiden yang meminta agar Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberikan kewenangan untuk mengontrol media.