Wapres Apresiasi Kinerja Yance Saat Bebaskan Lahan PLTU Sumur Adem
Menurut Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, jumlah tersebut termasuk sedikit, karena hanya sekitar 0,3 persen dari total nilai proyek
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembebasan lahan 83 hektar untuk pembangunan PLTU Sumur Adem di Indramayu, Jawa Barat pada 2004 lalu menghabiskan dana sekitar Rp 43 miliar.
Menurut Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, jumlah tersebut termasuk sedikit, karena hanya sekitar 0,3 persen dari total nilai proyek sebesar sekitar Rp 10 triliun.
Jusuf Kalla mengatakan Irianto Mahfudz Sidik Syafiuddin alias Yance yang pada 2004 lalu masih merupakan Bupati Indramayu, merupakan salah satu kepala daerah yang saat itu bisa menyediakan lahan dengan cepat, hingga akhirnya kini PLTU berkapasitas 1000 megawatt itu bisa beroperasi.
"Dan itu selesai dengan cepat, itu sangat menguntungkan negara, dibanding yang tidak selesai-selesai seperti (PLTU) di Batang (Jawa Tengah), berapa kerugian negara ?," kata Jusuf Kalla di Istana Wapres, Jakarta Pusat, Jumat (10/4/2015).
Menjelang pembangunan PLTU tersebut Jusuf Kalla yang saat itu berstatus Wakil Presiden untuk Presiden Susilo Bambang Yudoyono itu, juga sempat menemui Yance dan memberikan instruksi untuk akselerasi pembangunan.
Pembangunan PLTU tersebut adalah bagian dari program nasional, di mana pemerintah saat itu tengah mengupayakan pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt.
Kini, Yance berstatus terdakwa kasus dugaan penggelembungan uang ganti rugi lahan PLTU Sumur Adem. Nilai jual obyek pajak milik PT Wiharta Karya Agung yang dibebaskan pemerintah hanya sebesar Rp 14.000 per meter persegi, dan Yance dianggap bertanggungjawab menggelembungkan harga itu menjadi Rp 57.850 per meter persegi. Akibat perbuatannya, negara diperkirakan merugi Rp 4,1 miliar.
Soal permasalahan yang muncul setelah pembebasan lahan itu, Wapres menyerahkan sepenuhnya pada negara. Namun ia memastikan akan hadir sebagai saksi di sidang Yance yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), di Bandung, Senin pekan depan (13/4).
"Dia dianggap bersalah, karena itu perintah, tentu saya harus memberikan keterangan, benar itu keputusan pemerintah," ujarnya.