Hadi Poernomo Cabut Gugatan Praperadilan
Pencabutan gugatan itu disampaikan pengacara Hadi, Maqdir Ismail, ketika sidang perdana digelar, Senin (13/4/2015).
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Mantan Dirjen Pajak, Hadi Poernomo, mencabut gugatan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi yang sebelumnya diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pencabutan gugatan itu disampaikan pengacara Hadi, Maqdir Ismail, ketika sidang perdana digelar, Senin (13/4/2015).
"Atas permintaan dari pemohon Yang Mulia, pemohon meminta gugatannya dicabut," kata Maqdir.
Setelah mendapatkan permintaan dari pemohon, hakim tunggal Baktar Jubri menskors sidang selama lima menit untuk membuat penetapan pencabutan. Setelah itu, Baktar membacakan putusan yang berisi permintaan pecabutan gugatan.
"Menimbang bahwa permohonan ini belum dibacakan pemohon dan belum dijawab termohon, dan pencabutan ini tidak bertentangan dengan hukum, maka permohonan ini patut dikabulkan," kata Baktar.
Dalam kasus yang menjeratnya, Hadi selaku Dirjen Pajak diduga mengubah telaah Direktur Pajak Penghasilan mengenai keberatan surat ketetapan pajak nihil pajak penghasilan (SKPN PPh) BCA.
Surat keberatan pajak penghasilan 1999-2003 itu diajukan BCA pada 17 Juli 2003 terkait non-performance loan (NPL atau kredit bermasalah) senilai Rp 5,7 triliun kepada Direktur PPh Ditjen Pajak.
Setelah penelaahan, diterbitkan surat pengantar risalah keberatan dari Direktur PPh pada 13 Maret 2004 kepada Dirjen Pajak dengan kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolak.
Namun, satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA, 18 Juli 2004, Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak memerintahkan agar Direktur PPh mengubah kesimpulan, yaitu dari semula menyatakan menolak diganti menjadi menerima semua keberatan.
Hadi kemudian mengeluarkan surat keputusan Dirjen Pajak yang memutuskan untuk menerima semua keberatan wajib pajak sehingga tidak ada cukup waktu bagi Direktur PPH untuk memberikan tanggapan atas kesimpulan yang berbeda itu. Atas penerimaan keberatan itu, negara dirugikan senilai Rp 375 miliar.