Praperadilan-praperadilan
Kontroversi mengenai kewenangan lembaga praperadilan dalam memutus status penetapan tersangka berujung di palu sidang hakim Mahkamah Konstitusi.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Alek Karci Kurniawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kontroversi mengenai kewenangan lembaga praperadilan dalam memutus status penetapan tersangka berujung di palu sidang hakim Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 laksana kejutan yang menghebohkan lapangan hukum pidana Indonesia. MK memperluas obyek praperadilan di dalam KUHAP dengan menambahkan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Di mata publik bergulirlah semacam akal sehat yang seakan-akan menguatkan putusan hakim Sarpin Rizaldi, yang sebelumnya bertindak mengabulkan gugatan praperadilan Komjen Budi Gunawan dan menjadi pemicu banyaknya pengajuan gugatan praperadilan terhadap status tersangka yang kemungkinan besar dimanfaatkan pelaku tindak pidana korupsi.
Ada dua pertimbangan yang mesti dicermati dari putusan MK ini. Pertama, hak dan martabat seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka memang berpotensi dirampas melalui tindakan subyektif penyidik yang melampaui kewenangan. Kedua, pada kondisi itu tak ada kesempatan menguji tafsir subyektif dari tindakan penyidik dalam hal menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Jamak diketahui bahwa status tersangka merupakan status yang disematkan kepada seseorang yang, karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP). Dari kaca mata hukum pidana, penetapan status tersangka sangatlah rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia sebab dalam penalaran yang wajar, menetapkan seseorang sebagai tersangka suatu tindak pidana sudah menjadi tindakan yang merenggut sebagian besar hak asasinya. Tak ada satu pun literatur ataupun aturan hukum yang menjelaskan legitimasi bukti permulaan yang cukup untuk bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka (John Jackson dan Peter Tillers: 2008).
Dalam perkembangannya bukti permulaan hanya dipakai untuk memberikan kewenangan bagi penegak hukum melakukan segala bentuk upaya paksa, baik KUHAP, UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maupun ketentuan hukum perpajakan pun hanya mengatur bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penyidikan dan segala bentuk upaya paksa. Jadi, mempunyai urgensi tersendirilah suatu forum yang menjadi ruang klarifikasi dan menguji keabsahan bukti permulaan yang cukup guna menetapkan seseorang sebagai tersangka, dengan maksud agar melindungi hak asasi dari orang tersebut. Untuk itu, diperlukan suatu forum yang menjadi ruang klarifikasi dan menguji keabsahan bukti permulaan yang cukup guna menetapkan seseorang sebagai tersangka dengan maksud agar melindungi hak asasi orang tersebut.
Ketentuan dalam KUHAP tak memberikan penjelasan mengenai batasan jumlah dari frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup". Satu-satunya pasal yang menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan, "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti ... dst".
Maka, pemaknaan "minimal dua alat bukti" dinilai MK merupakan perwujudan asas due process of law untuk melindungi hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia, masih terdapat beberapa frasa dalam KUHAP yang memerlukan penjelasan agar terpenuhi asas lex certa serta asas lex stricta agar melindungi seseorang dari tindakan semena-mena penyelidik ataupun penyidik. Secara garis besar, ada dua kepentingan yang hendak dilindungi secara seimbang melalui praperadilan, yaitu kepentingan individu dan kepentingan publik atau masyarakat. Hal ini juga yang menjadi pendapat berbeda hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Pengimbang
Dari perspektif kepentingan individu (tersangka atau terdakwa), diintroduksinya lembaga praperadilan ini dalam KUHAP adalah sebagai "pengimbang" terhadap kewenangan yang diberikan kepada penyidik dan penuntut umum menggunakan upaya paksa dalam pemeriksaan tindak pidana. Karena itu, sebagai jaminan bahwa upaya paksa dimaksud benar-benar digunakan demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan (atau didakwakan) sesuai dengan ketentuan undang-undang. Untuk memenuhi tuntutan jaminan itulah diintroduksi lembaga praperadilan.
Selanjutnya, apabila penuntut umum atau pihak ketiga menganggap penghentian penyidikan yang dilakukan penyidik tak sah, mereka dapat mengajukan permohonan praperadilan untuk memeriksa keabsahan tindakan penyidik itu. Begitu pula sebaliknya, apabila penyidik atau pihak ketiga menganggap penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum tidak sah, mereka ini pun dapat mengajukan permohonan praperadilan memeriksa keabsahan tindakan penuntut umum itu. Dengan cara demikian, keseimbangan perlindungan yang diberikan terhadap kepentingan individu (tersangka, terdakwa) dan kepentingan publik (masyarakat) tetap terjaga.
Memasukkan penetapan tersangka ke dalam ruang lingkup praperadilan berarti membenarkan ketakseimbangan perlindungan kepentingan individu dan kepentingan publik (masyarakat). Sebab, bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka, tersedia dua jalan hukum mempersoalkan penetapan itu. Pertama, memohon penghentian penyidikan (dalam hal penyidik tak mengambil inisiatif sendiri menghentikan penyidikan itu). Kedua, memohon praperadilan (misalnya dalam hal permohonan penghentian penyidikan tak dikabulkan penyidik). Jika masyarakat (pihak ketiga) hendak mempersoalkan tindakan penyidik yang menghentikan penyidikan terhadap seorang tersangka, satu-satunya jalan yang tersedia hanyalah praperadilan.
Bayangkan, ke depan, putusan MK ini menjadi angin segar bagi para tersangka dengan bertambah satu lagi amunisinya mempertentangkan keputusan penetapan tersangka kepada dirinya. Namun, tak bisa dinafikan sisi positifnya, putusan MK ini bakal memicu aparat penegak hukum bekerja lebih profesional.
Alek Karci Kurniawan
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Mei 2015 dengan judul "Praperadilan-praperadilan".