Dradjad Wibowo: Analisa Faisal Basri tak Merujuk UU Minerba
Dradjad Wibowo angkat bicara terkait pernyataan Faisal Basri
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Ekonom yang tak lain mantan Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo angkat bicara terkait pernyataan Faisal Basri yang menyebut mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit nasional saat ini.
"Sebagai sesama ekonom, saya menyayangkan analisis bang Faisal Basri yang sama sekali tidak merujuk UU Minerba. Pembangunan pabrik pengolahan (smelter) yang secara populer disebut hilirisasi, adalah perintah UU No 4/2009. Hilirisasi ini wajib berlaku mulai 12 Januari 2014. Jadi, tuduhan Faisal Basri bahwa timing-nya dikaitkan pilpres itu salah besar. Timing-nya adalah sesuai perintah UU," Dradjad menegaskan, Senin (25/5/2015.
"Sebagai direktur bidang Program dan Kebijakan timses Prabowo-Hatta, sementara bang Hatta Rajasa saat itu adalah Cawapres, saya tegaskan, tidak ada sama sekali kaitan Capres-Cawapres dengan keuntungan yang diperoleh Rusal dalam bentuk apapun. Fakta-fakta tersebut sama sekali tidak ada hubungan kausalitas," kata Dradjad.
Sebelumnya, dikutip dari Kompas,com, Faisal menilai apa yang dilakukan Hatta saat menjabat sebagai menteri ada kaitannya dengan langkah dia untuk maju dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 lalu.
"Hatta Rajasa biang keladinya. Ini tunjuk nama aja deh biar semua jelas," ujar Faisal Basri dalam acara Kompasiana Seminar Nasional bertema "Kondisi Terkini, Harapan dan Tantangan di Masa Depan Industri Pertambangan Bauksit dan Smelter Alumina Indonesia"
"Bang Faisal mengkait-kaitkan kenaikan harga saham Rusal dengan kebijakan tersebut dan pilpres, yang mengimplikasikan, kebijakan tersebut dibuat terkait dengan pencalonan bang Hatta. Akademisi yang jujur dan mumpuni akan sangat berhati-hati membangun hubungan kausalitas antara fakta-fakta," Dradjad menegaskan.
Akademi yang jujur, kata Dradjad lagi, tidak sembarangan mengaitkan. "Kalau mahasiswa bimbingan, saya membuat hubungan kausalitas seperti cara bang Faisal, pasti tidak akan saya luluskan," sindir Dradjad.
Dijelaskan, sejak saat RUU Minerba disusun, pada saat itu, Dradjad mengaku masih masih Wakil Ketua Fraksi PAN di DPR. Ia tak memungkiri, mendapat banyak tekanan dari pihak asing dan antek-anteknya. Mereka, sebut Dradjad, tidak menginginkan Indonesia membangun smelter.
"Mereka ingin Indonesia tetap sebagai eksportir mineral mentah. Kekayaan alam Indonesia ingin dikuras mentah-mentah, biar mereka yang menikmati nilai tambah besar-besaran dari pengolahan. Teknologi dan industri Indonesia tidak usah berkembang," ungkap Dradjad.
"Insinyur-insinyur Indonesia tidak usah menjadi jago pengolahan. Biar mereka saja. Di mata mereka, Indonesia cukup jadi kuli keduk saja. Siapa mereka? Mereka adalah raksasa tambang di Indonesia maupun duni," Dradjad memastikan.
Tekanan ini, sambung Dradjad lagi, makin keras ketika hilirisasi dijalankan, termasuk ancaman akan dibawa ke WTO. Syukurlah, amanat UU tersebut, lanjutnya, tetap dijalankan. Silakan saja dinilai sendiri, mereka yang anti hilirisasi tersebut, katanya lagi, pro-industri nasional atau pro-asing.
Dikatakan pertarungan ideologi ekonomi tidak akan pernah berhenti. Hilirisasi adalah bagian dari ideologi yang pro-pembangunan nilai tambah domestik dan Kapasitas Teknologi Bangsa.
Mereka yang pro ekonomi liberal/Konsensus Washington (pro-asing, pro-penghapusan subsidi, pro-privatisasi), Dradjad tak memungkiri, memang menentang keras UU Minerba ini.
Pilihannya di tangan kita. Menjadikan Indonesia bangsa yang kuat industrinya, atau tetap menjadi bangsa kuli asing. Saya berharap pemerintahan Jokowi-JK konsisten menjalankan perintah UU tsb, dan tidak tunduk pada tekanan asing. Sebagai catatan, saya bukan anti-asing. Rekam jejak pendidikan dan pekerjaan saya cukup sebagai buktinya. Tapi, saya mau Indonesia sama majunya dengan negara-negara maju," pungkas Dradjad.
Faisal yang juga mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas itu juga menjelaskan, pada awal 2014 lalu, peranan Hatta Radjasa melarang ekspor mineral mentah (raw material) termasuk bauksit sangat besar.
Kata Faisal, berbagai pembahasan aturan pelarangan ekspor bauksit dibahas di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian dengan berbagai menteri terkait.
Akhirnya, Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 terbit pada tanggal 12 Januari 2014.
Faisal menilai, aturan itu membuat industri bauksit nasional hancur lantaran semua perusahaan bauksit tak lagi diperbolehkan mengekspor bauksit yang merupakan bahan mentah pembuatan aluminium.
Menurut Faisal, pelarangan ekspor bauksit itu merupakan permintaan perusahaan aluminium terbesar Rusia, yaitu UC Rusal, yang saat itu berencana menanamkan investasinya di Indonesia untuk membuat pabrik pengolahan bauksit (smelter alumina) di Kalimatan.
Akibat pelarangan ekspor bauksit itu, sebanyak pasokan 40 juta ton bauksit dari industri nasional untuk dunia internasional menghilang. Dampaknya, kata dia, harga alumina Rusal di dunia internasional melonjak.
"Rusal itu tahun 2007 sudah pernah MoU dengan Antam buat smelter, tetapi tidak jadi. Lalu pada 2014 buat lagi MoU dengan Suryo Sulisto. Untuk itu (investasi Rusal), pemerintah dengan gagah berani memenuhi syarat Rusal untuk melarang ekspor. Sekitar 40 juta ton bauksit hilang di pasaran sehingga harga naik dan saham Rusal naik, untungnya ratusan juta dollar," kata Faisal.
Sementara itu, industri bauksit nasional justru kehilangan potensi devisa Rp 17,6 triliun per tahun, penerimaan pajak Rp 4,09 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 595 miliar.
Bahkan, Faisal mengaitkan keuntungan Rusal dan kebijakan pelarangan ekspor bauksit yang dipimpin Hatta Rajasa itu dengan upaya politik. Pasalnya, sebut Faisal, saat itu Hatta Rajasa maju dalam Pilpres 2014 sebagai calon wakil presiden.
"Jadi, sudah nyata yang paling untung itu Rusal. Ini mau pemilu, pilpres, dan Hatta Rajasa menjadi calon wakil presiden," ucap dia.