Pengamat: Putusan Praperadilan Menjunjung Tinggi HAM
Tidak ada satupun literatur ataupun aturan hukum yang menjelaskan legitimasi bukti permulaan yang cukup
Penulis: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktisi hukum, Ombun Suryono mengatakan, sejumlah kalangan mengingatkan semua pihak untuk tidak memandang sempit putusan praperadilan terkait penetapan status tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Menurut Ombun, persoalan serius dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia pascaputusan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) dan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin (IAS), tidak lagi hanya ketentuan mengenai hukum pembuktian saja.
Putusan prapreradilan sangat membantu bagi seseorang pencari keadilan yang sudah telanjur ditetapkan jadi tersangka, dari tindakan sewenang-wenang penyidik.
"Memang putusan praperadilan bukanlah suatu pembuktian atas kesalahan terdakwa dalam pokok materi tuntutan, tetapi putusan praperadilan menjunjung tinggi HAM bagi seorang tersangka," kata Ombun kepada wartawan di Jakarta, Selasa (26/5/2015).
Ombun menuturkan, untuk menemukan keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi tersangka, hakim praperadilan dapat memperluas penafsiran hukum terhadap praperadilan sesuai dengan perkembangan keadilan masyarakat.
Diingatkan juga, tidak ada yang berhak untuk membatasi hak setiap orang memperjuangkan keadilan bagi dirinya, bahkan negara melindungi dan memfasilitasi dan menjunjung tinggi hak asasi setiap orang sesuai amanat UUD 1945.
"Penetapan seseorang menjadi tersangka, sangat vital, karena pada dasarnya, saat seseorang ditetapkan jadi tersangka, hak asasinya dibatasi, bisa dicekal, pemblokiran rekening, nama baik tercemar, dan penyidik bisa langsung menahan tersangka," tuturnya.
Ombun pun sangat setuju dengan pendapat beberapa ahli yang mengatakan bahwa penegakan hukum diakui secara universal bahwa prosedur (means) memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan tujuan (goals) sehingga para ahli filsafat hukum modern selalu menyatakan law as a means to an end, not an ends in itself, dan yang perlu dipahami adalah nilai-nilai (values) di balik setiap norma yang diatur di dalamnya.
"Oleh karena itu undang-undang dengan sejumlah pasalnya merupakan sistem nilai teori hukum integratif bukan system of norms and logics per se," ujarnya.
Sementara itu, praktisi hukum lainnya Bambang Setiawan, berpendapat, dari perspektif kepentingan individu baik tersangka atau terdakwa, lembaga praperadilan ini dalam KUHAP adalah sebagai pengimbang terhadap kewenangan yang diberikan kepada penyidik dan penuntut umum menggunakan upaya paksa dalam pemeriksaan tindak pidana.
Menurutnya, putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memperluas objek praperadilan di dalam KUHAP dengan menambahkan penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Dari kacamata hukum pidana, kata Bambang, penetapan status tersangka sangat rentan terhadap pelanggaran HAM sebab dalam penalaran yang wajar, menetapkan seseorang sebagai tersangka suatu tindak pidana sudah menjadi tindakan yang merenggut sebagian hak asasinya.
Tidak ada satupun literatur ataupun aturan hukum yang menjelaskan legitimasi bukti permulaan yang cukup untuk bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka.
"Mudah-mudahan, ke depannya, proses hukum di Negara ini dijalankan dengan penuh kehatia-hatian dan mengingatkan supaya penegak hukum bekerja lebih profesional demi keadilan yang nyata," ujar Bambang.