Pengamat: Pembubaran Petral, Awal Migas Dikuasai Negara
Setelah Petral dibubuarkan, pertama kali migas dikuasai negara. Setelahnya, jangan sampai pengelolaan industri migas dikelola menggunakan autopilot.
Editor: Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembubaran Petral hendaknya dijadikan momentum awal migas dikuasai negara dan sekaligus berharap kemakmuran segera tercapai melalui perbaikan tata kelola migas di bidang kegiatan hilir. Selain itu, awal momentum kemakmuran negara itu, juga harus ditandai dengan revisi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) di bidang kegiatan hulu.
Sejak dikatakan inkonstitusional yang ditandai dengan pembubaran BPMigas pada November 2012, Undang-Undang No 22 tahun 2001 belum direvisi. Demikian ditegaskan oleh Y Sri Susilo SE, M.Si, staf pengajar di Universitas Atma Jaya Yogyakarta dalam keterangannya yang diterima Tribunnews.com, Selasa (2/6/2015).
Pernyataan Susilo itu terkait rencana diadakannya bedah buku tulisan terbitan Gramedia Pustaka Utama, "Migas – The Untold Story," tulisan AM Putut Prabantoro, mantan Penasihat Ahli Kepala BP Migas Bidang Komunikasi di Auditorium Babarsari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Kamis (4/6/2015).
Akan hadir sebagai pembicara, antara lain Ketua ISEI Yogyakarta Prof. Lincolin Arsyad, Ph.D (Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajahmada), Ronny Sugiantoro (Pemred Kedaulatan Rakyat) dan Rahmad Pribadi (pengamat migas lulusan Harvard University, AS).
"Para akademisi harus mendorong pemerintah untuk segera membenahi tata kelola migas dengan bertumpu pada kemakmuran versi UUD 1945. Spirit nasionalisme dalam migas hendaknya diterjemahkan dalam wujud kemakmuran setinggi-tingginya bagi rakyat Indonesia. Kemakmuran itu tidak hanya sekedar orang cukup makan tetapi juga bisa sekolah gratis dan memiliki rumah layak," ujar Susilo, kandidat doktor Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Hanya saja, dalam iklim otonomi daerah, Susilo menambahkan, kemakmuran bukan hanya urusan pemerintah pusat tapi justru menjadi tanggung jawab yang lebih besar di pemerintah daerah. Seharusnya, daerah yang memiliki sumberdaya alam harus lebih mampu menyejahterakan masyarakatnya. Kemakmuran itu bisa diukur dan penggunaan dana bagi hasil harus dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Terkait dengan sengkarut persoalan migas di Indonesia, Susilo menjelaskan berbagai persoalan yang sifatnya non teknis muncul setelah BPMigas dibubarkan. Inkonstitusional atau tidak Undang-Undang Migas 22 Tahun 2001 tersebut, menurut Susilo, pembubaran BPMigas seperti pepatah menangkap tikus dengan membakar lumbung.
“Dari berbagai persoalan yang muncul akhirnya bisa dikira-kira motif pembubaran BPMigas yang sebenarnya. Oleh karena itu, yang paling utama sekarang adalah pembenanahan tata kelola migas dari hulu hingga hilir. Semua harus ditinjau dan disusun kembali. Jangan sampai sebenarnya industri migas Indonesia sebenarnya menggunakan autopilot dalam pengelolaannya," ujarnya.
Momentum pembubaran Petral yang dulu sangat sulit dilakukan harus dijadikan momentum oleh bangsa Indonesia. Pengawasan dan kendali pengelolaan kegiatan migas baik hulu ataupun hilir harus menunjukkan negara ada di situ. Sehingga jangan sampai ada mafia migas yang lebih kuat daripada negara.