Ini Respons Keluarga Margareith Soal Harta Warisan Angeline
Pengakuan tersangka pembunuh gadis cilik, Angeline (8) yang tak lain pembantu rumah, Agustinus Tai Andamai (25) ke pihak kepolisian kerap berubah.
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Gusti Sawabi
TRIBUNNEWS.COM, BEKASI - Pengakuan tersangka pembunuh gadis cilik, Angeline (8) yang tak lain pembantu rumah, Agustinus Tai Andamai (25) ke pihak kepolisian di Bali kerap berubah.
Satu di antaranya, ia mengaku membunuh karena permintaan sang ibu angkat Angeline, Margareith CH Megawe (60) dengan janji imbalan Rp 2 miliar.
Pengakuan Agus itu terkesan menguatkan dugaan motif pembunuhan karena perebutan jatah 60 persen harta warisan Angeline dari ayah angkatnya yang telah meninggal tiga tahun lalu itu pun menguat.
Lalu, bagaimana keluarga Margareith yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat menanggapi perihal itu?
Meski berdomisili dan tinggal lama di Bali, rupanya Margareith dan keluarga besarnya beralamat tinggal di Kampung Sawah Jalan Tambakan, RT 08 RW 04 nomor 24, Kelurahan Jatimelati, Kecamatan Pondokmelati, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Pihak keluarga Margareith lebih memilih bungkam soal hak harta warisan yang akan diterima Angeline selaku anak angkat.
"Maaf, saya tidak bisa berkomentar banyak,” kata keponakan Margareith, Ade Prima Manurung (38).
Selanjutnya, ia hanya mengklarifikasi, bahwa ayah angkat Angeline atau suami dari Margarieth yang telah meninggal tiga tahun lalu adalah warga negara Amerika Serikat dan bukan warga negara Jerman seperti ramai diberitakan.
Kakak kandung Margareith, Yane Megawe (65) juga hanya menggelengkan kepala seraya menolak mengungkapkan perihal latar belakang ayah angkat Angeline maupun soal warisan yang akan diterima Angeline.
Ia khawatir salah bicara.
Yang jelas, rumah yang ditempati keluarga Margareith di kawasan Bekasi itu dari tiga lantai dengan bagian lantai teratas lebih rendah.
Bagian depan rumah terdapat halaman dengan tertutup rapat pagar besi.
Margareith tercatat sebagai Kepala Keluarga setelah sang suami meninggal tiga tahun lalu.
Ia mempunyai dua anak, Christina Telly dan Angelina yang juga tercatat anak kandung dari Ach Rasyidi dan Hamidah.
Warisan dan Akta Adopsi
Silang sengkarutnya kabar bawah Angeline (8) memperoleh bagian harta dari ayah angkatnya yang warga negara asing ternyata tidak tertera dalam akta yang sebelum santer berhembus.
Kamis (11/6) sore, Orangtua kandung Ag yakni Siti Hamidah (28) dan Ahmad rosyidik (29) bersama tim dari P2TP2A mendatangi kantor Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Anneke Wibowo SH di Jalan Teuku Umar.
Kedatangan kedua orangtua dari bocah malang ke kantor notaris tersebut untuk memperoleh salinan akta yang dibuat tahun 2007 yang disepakati oleh orangtua kandung Ag selaku pihak pertama dengan Margareith Christina Megawe, selaku pihak kedua yang tertera dalam akta tersebut.
Dalam kesepakatan tersebut kedua pihak membuat kesepakatan yang diikat ke dalam Akta Pengakuan Pengangkatan Anak tertanggal 24 Mei 2007 nomor 18 yang dibuat di Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Anneke Wibowo SH.
“Kedua belah pihak sebelum datang ke Notaris sudah melakukan kesepakatan, mungkin saja Perjanjian ini dibuat takutnya salah satu pihak mengingkari kesepakatan. Jadi ketika terjadi sesuatu ada kesepakatan hitam di atas putih,” jelas Anneke.
Dikatakan Anneke, akta tersebut secara garis besar menyatakan, bahwa pihak pertama mengaku telah menyerahkan anaknya kepada pihak kedua selaku penerima.
”Saya tidak membuat tentang pengangkatan anak. Ini tidak diperbolehkan, akta ini hanya kesepakatan awal. Makanya judul Aktanya Pengakuan Pengangkatan Anak. Itu bukan adopsi,” terangnya.
Saat pembuatan akta, hadir pada saat itu orangtua kandung Ag dan Margareith, dikatakanya Anneke kedua belah pihak pada waktu itu sempat datang dua kali ke kantornya untuk meminta tolong dibuatkan akta.
“Yang minta untuk bikin kesepakatan hitam di atas putih itu Ibu Margareit, mungkin saja dia takut nanti terjadi pengingkaran kesepakatan. Kalau tidak salah kedua belah pihak sempat dua kali bolak balik ke sini, karena saya bilang tidak bisa membuatkan pengangkatan anak. Terus akhirnya minta tolong ada semacam kesepakatan hitam diatas putih saja, kalau mau adopsi itu harus di pengadilan,” jelasnya.
Dijelaskan Anneke, Akta ini hanya pegangan awal untuk tidak saling mengingkari kesepakatan, dan bukan akta adopsi. Jika pihak pertama ingin mengandopsi seharusnya menempuh jalur pengadilan dan mengikuti proses legal.
“Akta saya bukan akta adopsi, ini akta pengakuan pengangkatan anak. Akta ini kesepakatan awal sebelum dilakukukan proses selanjutnya, tetapi proses selanjutnya itu yang tidak ditindaklanjuti oleh kedua belah pihak,” ujarnya.
Kembali ditegaskan Anneke, agar tidak salah paham terkait dengan kabar adanya akta adopsi dirinya hanya membuat akta pengakuan kesepakatan. Jadi akta itu sifatnya kesepakatan awal supaya menjaga untuk tidak saling memungkuri kesepakatan, ada bukti kesepakatan hitam diatas putih.
“Biar tidak salah paham, saya bukan tempat untuk melegalisasi atau melegalkan pengangkatan anak. Kesepakatan ini mengikat kedua belah pihak, seandainya ada pengingkaran kesepakatan, dan saya sudah jelaskan ke para pihak, bukan di sini tempat pengangkatan anak, kalau pengangkatan anak itu harus ke pengadilan,” katanya.
Terkait dengan kabar yang beredar adanya klausul yang menyatakan Ag mendatap warisan dari ayah angkatnya yang orang asing tersebut, Anneke menyatakan tidak ada kalimat yang menerangkan bahwa Ag menerima warisan.
“Saya buka kembali file aktanya tidak ada tercantum nama bule dan katanya ada point yang menerangkan hak waris dari si bule. Saya buka tidak ada bulenya dan dari mana bisa ada ahli waris dari si bule. Bulenya saja saya tidak pernah lihat dan saya tidak pernah buat surat wasiat,” jelasnya.
Ketika ditanyakan terkait dengan kabar yang menyatakan sebelum 18 tahun orangtua kandung Ag tidak boleh bertemu dan keterangan bahwa setelah 18 tahun Ag dikembalikan ke orangtua kandungnya, Anneke menyatakan dalam akta tersebut tidak tercantum.
“Tidak ada tercantum itu, dan tidak ada point yang menyatakan orangtua kandung tidak boleh bertemu, itu tidak ada. Tetapi ada tertulis tidak boleh demi kepentingan psikologis anak,” ujarnya.
Pihaknya menambahkan sesuai dengan yang tercamtum dalam akta tersebut orangtua kandung tidak boleh mengungkapkan jati diri sampai anak tersebut dewasa.
“Untuk kepentingan psikologis pihak yang menyerahkan tidak boleh mengungkapkan jati diri sampai anak itu dewasa, berarti kalau anak sudah dewasa kan boleh. Dewasa menurut UU itu ada yakni 21 tahun, 18 tahun untuk UU tertentu. Jadi cuma hanya jati diri saja,” jelasnya.
Dikatakan Anneke, tanpa membuat akta pengakuan pengangkatan anak pun sebenarnya kedua belah pihak bisa membuat kesepakatan. Ia memandang mungkin karena ada ketakutan pengingkaran akhirnya para pihak sepakat membuat akta ini.
“Sebenarnya tanpa kesini pun bisa saja membuat kesepakatan dengan shake hand (jabat tangan),” kata dia.
Anneke pun menyatakan saat kedua belah pihak membuat kesepakatan belum pernah tahu siapa nama dari anak tersebut (Ag). Dan dari point akta pengakuan pengangkatan anak dijelaskan,pihak kedua (Margreit) boleh memberi nama sesuai dengan persetujuan pihak pertama (orangtua kandung Ag).
“Akta ini dibuat lima hari setelah si ibu melahirkan, jadi belum dikasi nama. Di kesepakatan itu dibilang pihak yang mengangkat anak boleh memberi nama. Jadi orang tua kandung rela pihak yang mengangkat anak itu memberi nama sesuai dengan keinginan pihak yang mengangkat,” paparnya.
Akta ini apakah mempunyai kekuatan hukum ? Anneke menyatakan bukan pengangkatan anaknya yang mempunyai kekuatan hukum, tapi apa yang disepakati di dalamnya yang mengikat dan berlaku sebagai UU. “Yang diikat yang tertera di akta bukan yang keluar dari akta.” tandasnya. (Abdul Qodir/Can)