Pilkada Serentak Kedodoran
Seharusnya proses penentuan calon dilakukan secara demokratis.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Ramlan Surbakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati dan wali kota serentak 2015 mengalami kedodoran dalam dua hal: peraturan perundang-undangan dan persiapan penyelenggaraan.
Hukum dan kepastian hukum mengenai pemilihan umum (pemilu) sangat penting dalam proses penyelenggaraan pemilu. Pemilu, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, adalah persaingan antarpeserta pemilu atau antarpasangan calon untuk memperebutkan jabatan yang sama (kepala dan wakil kepala daerah). Karena jumlah jabatan yang diperebutkan sedikit (satu kepala daerah di setiap daerah), jumlah yang bersaing mendapatkan jabatan itu lebih banyak daripada jumlah jabatan yang diperebutkan; dan jabatan itu dipandang amat sangat penting (bahkan dipandang jauh lebih penting daripada hal lain), maka persaingan niscaya akan sangat tajam, bahkan tak jarang menggunakan kekerasan.
Relevansi hukum pemilu tak hanya untuk mencegah kekerasan dalam persaingan itu, tetapi terutama untuk menjamin agar persaingan itu berlangsung bebas dan adil. Setiap peserta/pasangan calon tak hanya sama-sama bebas melakukan kampanye meyakinkan pemilih berdasarkan rambu-rambu yang diatur dalam UU, tetapi juga memiliki kesempatan dan sarana yang relatif setara untuk melakukan kampanye sebagaimana dijamin dalam UU. Kepastian hukum tak hanya penting bagi setiap pasangan calon, tetapi juga bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu. Dengan demikian, aturan main dalam persaingan tak hanya sama, tetapi juga dipahami sama semua pihak (predictable procedures). Yang disebut KPU mandiri adalah KPU menyelenggarakan pemilu semata-mata berdasarkan peraturan perundang-undangan yang memiliki kepastian hukum. Undang-undang yang mengatur pemilu dalam pemilu otoritarian tak menjamin persaingan bebas dan adil antar para peserta pemilu/pasangan calon.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU No 1/2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti UU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tak hanya secara substansial mengandung sejumlah aspek yang tak demokratis, tetapi juga mengandung ketidakpastian hukum dalam banyak aspek.
Pertama, proses penentuan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tak demokratis karena pasangan calon ditentukan sepenuhnya oleh pengurus partai di tingkat daerah dengan persetujuan pengurus pusat, tetapi sama sekali tak melibatkan anggota parpol. Padahal UU parpol menjamin hak anggota partai memilih dan dipilih, dan menentukan isi kebijakan partai. Kedua, UU itu melanggar HAM karena melarang seorang WNI yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan petahana menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah. Melarang seseorang menjadi calon hanya karena dia anak/istri petahana sama buruknya dengan menjadikan seseorang menjadi calon hanya karena dia anak/istri petahana.
Seharusnya proses penentuan calon dilakukan secara demokratis, yaitu pengurus partai secara kolektif menyiapkan lebih dari satu calon, menjamin persaingan bebas dan adil antarcalon (persaingan), dan menjamin hak anggota partai menentukan pemenang persaingan (partisipasi). Kalau istri seorang petahana ditetapkan sebagai calon berdasarkan proses demokratis seperti ini, ini tak dapat dikategorikan sebagai penerapan praktik dinasti.
Ketiga, UU ini tak menjamin kesetaraan antarpemilih karena tak ada sanksi berupa pemungutan suara ulang bila jumlah kasus pelanggaran berupa "penggunaan hak pilih lebih dari satu kali" di suatu tempat pemungutan suara (TPS) hanya satu saja, atau bila jumlah kasus "perusakan surat suara yang sudah dicoblos di suatu TPS hanya satu saja". Pemungutan suara ulang untuk kedua jenis pelanggaran ini akan dilakukan bila pelanggaran terjadi lebih dari satu kasus.
Keempat, hasil pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota kemungkinan besar tak akan menjamin efektivitas pemerintahan daerah karena pasangan calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. Yang dimaksud suara terbanyak di sini bukan mayoritas melainkan pluralitas: mencapai jumlah suara lebih banyak daripada jumlah suara dari masing-masing pasangan calon lain tanpa harus mencapai persentase suara tertentu. Bila jumlah pasangan calon lebih dari lima (di banyak daerah bahkan mencapai 10 pasang calon), maka bukan tidak mungkin perolehan suara sebanyak 15 persen jadi pemenang.
Sistem pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah seharusnya didesain untuk menciptakan pemerintahan daerah yang efektif. Pemerintahan daerah akan efektif apabila kepala daerah memiliki kepeminpinan politik transformatif, mendapat legitimasi tinggi dari warga daerah, dan memperoleh dukungan solid (mayoritas) anggota DPR. Kedua, faktor terakhir tak dijamin oleh sistem pemilu yang diadopsi UU No 8/2015. Sistem pemilu gubernur, bupati, dan wali kota yang diadopsi UU No 8/2015 tak memiliki visi jelas tentang pemerintahan daerah. Kepemimpinan politik dan administrasi dari seorang kepala daerah juga faktor penting untuk menciptakan pemerintahan daerah yang efektif. Proses penentuan calon yang tak demokratis tak mungkin menghasilkan kepemimpinan transformatif. Namun, kepemimpinan politik saja mungkin tak mampu meyakinkan warga daerah dan anggota DPRD. Akibatnya dukungan rakyat dan anggota DPRD sering kali diperoleh dengan kepemimpinan transaksional.
Tanda tanya besar
Dari segi kepastian hukum, UU ini juga mengandung sejumlah aspek yang menimbulkan tanda tanya besar. Pertama, menyamakan pemilih dengan penduduk. Menurut UU ini, pemilih adalah penduduk yang sekurang-kurangnya berumur 17 tahun atau sudah/pernah kawin dan terdaftar sebagai pemilih. Rumusan ini tidak konsisten dengan UU pemilu lain yang menentukan pemilih adalah WNI. Berdasarkan UU tentang administrasi kependudukan, tak semua penduduk Indonesia menjadi warga negara Indonesia. Tidak semua penduduk Kota Surabaya menjadi WNI. Apakah warga negara asing dapat menjadi pemilih?
Kedua, DPRD diberi tugas mengirimkan surat pemberitahuan tentang akhir masa jabatan kepada kepala daerah. Tugas pemberitahuan ini jauh lebih tepat diberikan kepada institusi yang mengeluarkan penetapan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Hal ini tak hanya karena pemerintah atasan yang mengeluarkan keputusan penetapan yang lebih tahu tentang masa jabatan, tetapi juga karena masa jabatan merupakan sesuatu yang secara hukum sudah pasti sehingga tidak tepat diserahkan kepada lembaga yang mekanisme kerjanya musyawarah dan negosiasi seperti DPRD. Ketiga, ketentuan tentang larangan jual-beli suara sudah diatur dalam UU ini, tetapi tak ada sanksi atas pelanggaran ketentuan jual-beli suara.
Keempat, daftar pemilih tambahan (DPT) mempunyai tiga pengertian berbeda, yaitu daftar pemilih sementara (DPS) hasil perbaikan, pemilih yang menggunakan hak pilihnya tidak di tempat dia terdaftar, tetapi di TPS daerah lain, dan pemilih yang tidak terdaftar, tetapi akan menggunakan hak pilihnya berdasarkan KTP atau paspor. DPT yang campur-aduk seperti ini niscaya tak membantu menciptakan DPT yang mencapai kemutakhiran dan akurasi yang tinggi.
Kelima, UU melarang parpol yang mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menerima sumbangan dana kampanye dari pihak asing, dari pemerintah dan pemda, BUMN/BUMD, dan pihak yang identitasnya tak jelas. Berdasarkan UU ini, pasangan calon tak dilarang menerima sumbangan dari pihak asing, pemerintah, dan sumber yang identitasnya tidak jelas. UU pemilu lainnya justru melarang peserta pemilu menerima sumbangan seperti ini, dan parpol bukan peserta pilkada.
Keenam, UU ini mewajibkan parpol yang mengusulkan pasangan calon untuk membuka rekening khusus dana kampanye di suatu bank. Karena itu, pasangan calon tak akan kena sanksi bila tak membuka rekening khusus dana kampanye di bank. Ketujuh, UU No 8/2015 tak mengatur tugas dan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tingkat pusat dalam pilkada, tetapi mengatur tugas dan kewenangan Bawaslu provinsi hingga ke pengawas tingkat lapangan.
Anggaran pilkada
Dari segi persiapan penyelenggaraan pemilu, dua parpol mengalami kepengurusan ganda sedangkan KPU dan Bawaslu menghadapi permasalahan anggaran di sebagian kabupaten/kota. KPU sudah memiliki pedoman jelas dalam menentukan kepengurusan parpol yang dipandang sah dalam mengajukan pasangan calon. Yang menjadi persoalan, konflik internal di dalam parpol yang tak dapat diselesaikan secara internal oleh parpol karena parpol selama ini memang tak pernah melembagakan (baca: tak pernah membuat aturan main dalam AD/ART untuk menyelesaikan semua kemungkinan perbedaan pendapat di dalam partai). KPU juga tidak bisa dipaksa oleh kehendak sejumlah parpol untuk mengikuti aturan main yang tidak sesuai dengan UU.
Persoalan anggaran pilkada adalah urusan dan tanggung jawab pemda dan pemerintah pusat. Prinsip dasarnya adalah KPU tak mungkin menyelenggarakan pilkada tanpa dana memadai. KPU tentu dapat mengusulkan kebutuhan anggaran sesuai perencanaan tahapan pilkada atau menanyakan kapan tersedia anggaran, tetapi KPU tak boleh mengemis anggaran kepada pemda/pemerintah. Tetapi, KPU dapat dituntut untuk menjamin efisiensi dalam perencanaan dan penggunaan anggaran. Dewasa ini muncul pertanyaan dari sebagian pihak: mengapa anggaran pilkada serentak membengkak? Bukankah sejak awal pilkada serentak dikatakan akan mengurangi anggaran pilkada?
Pertama, bentuk kampanye semua pasangan calon yang difasilitasi KPU, seperti pemasangan iklan kampanye di televisi dan pengadaan alat peraga, dibiayai dari anggaran pilkada. UU seharusnya membatasi persentase dana publik untuk kegiatan kampanye pasangan calon sebanyak-banyaknya 30 persen. Selebihnya harus ditanggung pasangan calon. Pada satu sisi sistem kampanye seperti ini mampu menjamin equal playing field antarpasangan calon. Kebijakan yang adil ini harus disertai larangan bagi setiap pasangan calon untuk memasang iklan kampanye di luar yang disiarkan TV tersebut.
Pada sisi lain, pengadaan alat peraga kampanye sebanyak rumah tangga di setiap daerah untuk setiap pasangan calon merupakan kebijakan yang kurang tepat karena menyebabkan anggaran membengkak. Bila suatu kota memiliki satu juta rumah tangga dan jumlah pasangan calon mencapai lima, maka KPU harus mengadakan lima juta alat peraga. Yang semestinya dilakukan KPU dan pemda adalah menetapkan daftar tempat (lokasi) pemasangan alat peraga kampanye di seluruh daerah yang bersangkutan, menjamin luas ruang yang sama antarpasangan calon untuk pemasangan alat peraga, dan melarang pemasangan alat peraga kampanye di luar tempat yang ditentukan tersebut. Pasangan calon yang memasang alat peraga di luar tempat yang ditentukan harus dikenai dua macam sanksi: wajib menanggung denda sebanyak dua kali biaya pembersihan alat peraga tersebut, dan pengumuman daftar nama pasangan calon yang memasang alat peraga di luar tempat yang ditentukan.
Kedua, anggaran pilkada serentak akan berkurang bila pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota di suatu provinsi dilakukan secara serentak. Data yang diperoleh dari KPU menunjukkan hanya 12 dari 34 provinsi yang melaksanakan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota sekaligus pada 9 Desember 2015, selebihnya tanpa pemilihan gubernur. Ketiga, daerah yang kepala daerahnya maju lagi untuk masa jabatan kedua cenderung menetapkan anggaran pilkada yang membengkak, sedangkan daerah yang kepala daerahnya tidak lagi maju cenderung terlambat memberikan persetujuan.
Keempat, KPU bersama KPU di daerah belum memiliki daftar pos pengeluaran pemilu yang esensial, jumlah sarana yang diperlukan untuk setiap aspek pengeluaran, dan indeks harga yang tidak sama antardaerah. Karena itu, sampai hari ini KPU belum mampu menetapkan berapa biaya pemilu untuk seorang pemilih baik secara nasional maupun per daerah. Ketidakmampuan ini sebagian karena kondisi lokal Indonesia yang beraneka ragam, tetapi sebagian lagi karena para pegawai KPU belum memiliki kompetensi keilmuan tata kelola pemilu dalam perencanaan tahapan pemilu dan perencanaan anggaran pemilu.
Ramlan Surbakti
Wakil Ketua KPU 2001-2007
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Juni 2015 dengan judul "Pilkada Serentak Kedodoran".