Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Berdagang PKI dalam Balutan 'Sastra Cemen' ke Luar Negeri
Percakapan perihal PKI (Partai Komunis Indonesia) di negeri ini memang tak pernah ada habis-habisnya. Mulai dari phobia demi phobia, tudingan, hingga
AWAS! hantu PKI masih bergentayangan di seantero negeri ini. Tapi jangan khawatir. Mereka tak menuntut balas atas sejarah yang digurat memakai tinta akal ubi. Mereka direpesentasikan sebagai jiwa-jiwa yang minta dikasihani atas kegetiran tahun 1965, agar jenjam di alam barzakh. Begitulah jiwa rakyat korban pembantaian dalam sastra kekinian: tak ubahnya hantu Casper yang 'cemen'.
Percakapan perihal PKI (Partai Komunis Indonesia) di negeri ini memang tak pernah ada habis-habisnya. Mulai dari phobia demi phobia, tudingan, hingga vonis. Menjelang tanggal 30 September dan 1 Oktober, percakapan makin riuh.
Perkembangan internet dan jejaring media sosial membuat banyak orang secara sadar, terbuka, dan kadangkala tanpa malu, menempatkan diri sebagai pengamat, ahli sejarah, dan polisi moral.
Itu di dalam negeri. Di luar negeri, kecenderungannya terbalik. PKI--berikut paham komunis--dibicarakan secara gamblang. Bahkan nyaris terang-benderang.
Lebih "gila", sebagian besar percakapan berangkat dari sudut pandang korban. Bukan korban "kebiadaban" PKI, melainkan bagian dari PKI itu sendiri.
Betapa hancur-leburnya mereka karena hidup dan tumbuh besar pascarobohnya keluarga akibat dituduh PKI.
Dua contoh dari percakapan ini diberi judul "Pulang" dan "Amba". Percakapan yang dikemas dalam bentuk buku dan diikutsertakan dalam satu gelaran internasional di Jerman bertajuk Frankfurt Book Fair (FBF) 2015. Dan dari sinilah keriuhan dimulai.
FBF 2015 mengundang Indonesia sebagai tamu kehormatan. Khusus bagi Indonesia, panitia menyodorkan judul: "17.000 Island of Imagination".
Secara eksplisit, dari judul ini sedikit banyak bisa dibayangkan betapa yang diinginkan adalah gambaran tentang dan terkaitpaut imajinasi yang potensial mencuat dari, misalnya, keindahan alam atau adat budaya dan kebiasaan-kebiasaan manusia Indonesia yang mendiami 17.000 pulau besar-kecil yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Nah, ini kekacauan pertama. Kontingen (katakanlah demikian) Indonesia menerjemahkan tema tersebut ke satu titik yang saya kira, kok, ya rada-rada tak nyambung.
"Pulang" oleh Leila S Chudori dan "Amba" oleh Laksmi Pamuntjak. Buku-buku yang mempercakapkan PKI panjang lebar.
Tapi, dalam kedua buku itu, terdapat PKI yang lebih melankolis dan tampak ingin digagah-gagahkan sehingga memunculkan kesan sebagai korban yang berharap (atau harus?) diberi simpati.
Apakah ada korelasi "17.000 Island of Imagination" dengan PKI? Ada, namun dalam bentuk dan sisi pandang yang dipersempit.
Benar bahwa PKI dan September 1965 dan hari-hari sesudahnya merupakan lembaran muram dalam buku sejarah Indonesia.
Dalam buku sejarah yang ngibul, setengah ngibul, maupun tak ngibul, PKI dan segala macam peristiwa yang mengiringinya tetap bukan kenangan indah. Ada banyak sekali korban yang sangat boleh jadi mengalami trauma sampai sekarang. Tapi haruskah terus-menerus menjual PKI di luar negeri?
Mengabarkan tentu tidak salah. Mengingatkan pastinya bukan hal yang keliru. Akan tetapi, janganlah sampai melakukan pemaksaan.
Tapi katakanlah hal pemaksaan ini bisa diperdebatkan, bisa digugat, bahwa PKI, komunisme, silang sengkarut peristiwa 1965 dan hantaman psikologis yang dialami korban-korbannya merupakan repsentasi dari 17.000 Island of Imagination.
Katakanlah demikian. Tapi justru dari sinilah persoalan kedua mengemuka. Kontingen Indonesia memajukan "Pulang" dan "Amba". Atas dasar apa?
"Pulang" mungkin masih logis lantaran buku ini terpilih sebagai buku terbaik dalam Khatulistiwa Literary Award--meski disambut dengan "ribut-ribut" lantaran dianggap kurang pantas dibanding buku-buku lain yang dinominasikan.
Tapi "Amba", apa keunggulannya? Kenapa buku ini yang terpilih sebagai unggulan dan bukan karya lain?
Dalam satu artikel yang mengupas perihal FBF 2015, keduanya, buku maupun penulisnya, disebut sebagai semacam penguak tabu.
Sebutan ini memunculkan keriuhan yang lebih kencang. Para penulis di negeri ini menilai hal itu sebagai sebuah kejahatan sejarah.
Seolah-olah sebelum "Pulang" dan "Amba" tidak ada satu pun karya sastra yang berani mengupas kekelaman tersebut dari sisi yang lain. Padahal banyak sekali.
Begitulah, ternyata, upaya untuk memencengkan sejarah masih terus terjadi. Meski kali ini tujuannya "cemen", sekadar gengsi kelompok. (*)
Penulis: T. Agus Khaidir/Jurnalis cum Cerpenis
Twitter: @aguskhaidir