Ayo, Bijak Gunakan Antibiotik
Penggunaan antibiotik perlu dijaga benar-benar. Sebab jika terlalu sering, antibiotik dapat mengakibatkan penyakit kebal terhadap obat
TRIBUNNEWS.COM - Sebagian besar orang Indonesia masih sangat percaya kesembuhan suatu penyakit ada pada antibiotik. Akibatnya, setiap sakit ringan pun orang tetap minum antibiotik.
Antibiotik sendiri merupakan salah satu zat anti bakteri, senyawa kimia khas yang dihasilkan atau diturunkan organisme hidup termasuk struktur analognya yang sintetik.
Dalam kadar rendah, antibiotik mampu menghambat proses penting dalam kehidupan spesies atau mikroorganisme. Antibakteri termasuk ke dalam anti mikroba yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Penyakit infeksi, selain disebabkan bakteri juga dapat disebabkan virus, jamur atau parasit lain. Antibiotik yang ada di pasaran dan digunakan luas adalah antibiotik yang dimanfaatkan untuk mematikan bakteri sebagai penyebab penyakit, sehingga tidak berguna bila infeksi tersebut disebabkan virus atau yang lainnya.
Terlalu sering minum antibiotik dapat mengakibatkan resistensi anti mikroba. Di mana mikroba atau bakteri yang menjadi penyebab penyakit menjadi kebal terhadap obat yang diberikan. Ini mengakibatkan pengobatan menjadi lebih lama dan sulit dilakukan.
Selain itu, dewasa ini antibiotik sangat mudah didapatkan atau bahkan dijual bebas. Hal ini membuat masyarakat cenderung menggunakan antibiotik secara tidak rasional. Segala penyakit diobati dengan antibiotik tanpa pemahaman lebih lanjut.
Misalnya sakit flu, batuk, pilek yang umumnya disebabkan virus. Sebagian besar dari kita akan langsung meminum obat flu dan antibiotik yang dijual bebas di pasaran, padahal hal itu tidak perlu.
Keadaan ini diperparah dengan dokter atau petugas kesehatan yang dengan mudahnya memberikan antibiotik terhadap pasiennya, serta ketidakpatuhan pasien yang diberikan obat antibiotik.
Selain penggunaan pada manusia, ditemukan juga fakta antiobiotik digunakan pada peternakan dan perikanan. Hal ini juga sangat berbahaya. Sebab dengan penggunaan antibiotik yang tidak rasional, baik di perikanan, peternakan, maupun manusia, akan menyebabkan resistensi antimikroba.
Penggunaan antibiotik tidak pada tempatnya atau bahkan berlebihan tidak akan menguntungkan. Itu justru merugikan dan membahayakan manusia.
Dengan semakin meningkatnya kasus penyakit yang makin kebal antibiotik, perhatian serius dari para ahli mikrobiologi klinik, terutama untuk penanggulangan penyakit infeksi, sangat diperlukan dan dibutuhkan.
Selain itu diperlukan pula penguatan sistem informasi dan laboratorium untuk mengimbangi kecepatan resistensi beberapa strain mikroba yang resisten. Bakteri Staphylococcus aureus, E coli, dan K pneumoniae merupakan contoh strain yang sebagian telah kebal terhadap antibiotik.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan serius menangani resistensi terhadap antimikroba. Hal ini dibuktikan dengan diadopsinya Keputusan Pertemuan Menteri tahun 2014 tentang Antimicrobial Resistance Control Committee (ARCC).
Di Indonesia, ARCC dikenal dengan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA). Komite ini melibatkan berbagai ahli, baik di dalam maupun di luar lingkungan Kementerian Kesehatan, termasuk Persatuan/Asosiasi Profesi Kesehatan untuk menjawab tantangan dan permasalahan kesehatan.
Komite ini juga bertugas menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan untuk penyusunan kebijakan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pencegahan dan penanggulangan resistensi antimikroba.
Kementerian Kesehatan pun meminta seluruh jajaran pemerintah di tingkat pusat dan daerah serta masyarakat melakukan upaya agar penggunaan antimikroba dapat dilakukan dengan bijak, sesuai indikasi, disertai dengan informasi yang jelas, dan benar-benar dapat dipahami agar tidak sembarangan mengkonsumsi antibiotik tanpa resep dokter.
Keseriusan Pemerintah terhadap masalah resistensi terhadap anti mikroba ini ditegaskan Menteri Kesehatan RI Prof. Dr. Nila F. Moeloek pada Pertemuan Tahunan WHO 2015 yand dilaksanakan belum lama ini.
“Melalui ARCC, Indonesia telah mengembangkan Strategi dan Rencana Aksi Nasional untuk secara komprehensif mengatasi masalah kekebalan antibiotik dalam 5 (lima) tahun ke depan. Mulai dari upaya promosi dan pencegahan di tingkat Puskesmas dan layanan rujukan, serta memperkuat kerjasama antar sektor. Indonesia juga secara terus menerus berusaha meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap AMR (Antimicrobial Resistence),” ujarnya.
Menkes juga menekankan, penerapan langkah pencegahan AMR memerlukan kepedulian semua pihak, baik di tingkat nasional, regional dan global. Kepedulian ini harus dilakukan melalui rangkaian proses, mulai dari pendidikan sampai pada pelaksanaan.
Indonesia baru mulai melaksanakan pendidikan dan peningkatan keterampilan tenaga kesehatan. Selain itu, peningkatan kepedulian juga dilakukan pada layanan kesehatan.
Tanpa kesadaran dan dukungan semua pihak, Indonesia akan kesulitan membangun program yang berkelanjutan guna mengatasi kekebalan kuman terhadap antibiotik.
Sebab selain penggunaan antibiotik yang bijak, diperlukan pula tindakan pencegahan penyebaran dari pasien yang terinfeksi bakteri resisten ke lingkungan sekitarnya dengan cara cuci tangan.
Sebab pada dasarnya gerakan cuci tangan tidak hanya diperlukan bagi tenaga pelayan kesehatan, tapi juga masyarakat luas.
Berita dan info kesehatan lainnya dapat dilihat lebih lanjut di www.depkes.go.id dan www.sehatnegeriku.com. (advertorial)