Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengamat: JHT Gaduh karena Tak ada Sosialisasi

Pengamat Kebijakan Publik itu mengatakan, kebijakan tersebut berlaku serta-merta tanpa adanya sosialisasi

Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Pengamat: JHT Gaduh karena Tak ada Sosialisasi
WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA
Sejumlah buruh dari KSPI dan GBI melakukan aksi unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (3/7/2015). Dalam orasinya mereka menolak secara tegas Peraturan Pemerintah no 46 Tahun 2015 terkait Jaminan Hari Tua (JHT) yang telah diberlakukan oleh Menaker dan BPJS Ketenagakerjaan. Warta Kota/angga bhagya nugraha 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Agus Pambagio mengkritik BPJS Ketenagakerjaan terkait penerapan Peraturan Pemerintah (PP) nomer 46 tahun 2015 tentang penyelenggaraan Jaminan Hari Tua (JHT).

Pengamat Kebijakan Publik itu mengatakan, kebijakan tersebut berlaku serta-merta tanpa adanya sosialisasi dan pemberian waktu tenggang atau transisi dari kebijakan lama ke kebijakan baru.

“Sekarang yang ramai itu gini, misalkan saya sudah bekerja jatuh tempo, katakanlah saya sudah bekerja 6 tahun terus keluar (kerja), kan uang (JHT) itu bisa saya ambil dong (berdasarkan aturan yang lama) karena sudah 6 tahun. Nah pas mau mengambil JHT itu ada waktu 30 hari tuh. Nah masa tunggu itu ternyata jatuh tempo 30 Juli 2015, masa ini dikenakan aturan baru juga. Enggak benar ini. Kan enggak lucu. Itu yang jadi persoalan,” ujar Agus kepada Kompas.com, Jakarta, Jumat (3/7/2015).

Menurut dia, setiap penerapan kebijakan baru harus memiliki sosialisasi yang cukup sehingga tak menimbulkan efek kejut kepada masyarakat.

Pemberian waktu transisi sebelum penerapan kebijakan itu pun akan lebih membuat masyarakat terbiasa akan perubahan suatu aturan.

Agus mengatakan, sosialisasi dan pemberian waktu transisi kebijakan baru pencairan Jaminan Hari Tua tak dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Akibatnya kata dia, masyarakat menjadi gaduh karena belum mengetahui persis aturan baru itu.

Padahal, sebut dia, substansi Peraturan Pemerintah (PP) nomer 46 tahun 2015 sudah baik karena mengatur skema pencairan JHT setelah 10 tahun keikutsertaan dalam BPJS Ketenagakerjaan.

BERITA REKOMENDASI

“Persepsi di masyarakat itu, JHT ini layaknya tabungan, padahal kan tidak. Jadi mengambilnya memang harus ada batasan minimumnya. Mengapa? Karena uang itu akan diinvestasikan kembali. Lah kalau setiap saat bisa diambil kan namanya tabungan (bukan jaminan untuk hari tua),” kata dia.

Dari sisi pemerintah, menurut Agus, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri sudah bolak-balik mengingatkan semua petinggi BPJS Ketenagakerjaan agar PP baru JHT tersebut disosialisasikan.

Hal itu dia ketahui usai berkomunikasi langsung dengan Menaker. Oleh karena itu menurut Agus, hal yang krusial dalam setiap kebijakan bukan hanya pada substansinya saja melainkan juga sosialisasi kebijakan tersebut kepada masyarakat.

Sebelumnya, perubahan mekanisme peberian manfaat salah satu program BPJS Ketenagakerjaan, yaitu Jaminan Hari Tua (JHT) membuat masyarakat resah.

Sekarang, JHT hanya bisa diambil ketika karyawan sudah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan minimal 10 tahun. Itu pun 40 persen dari total tabungan dengan rincian sebesar 10 persen tunai dan 30 persen untuk pembiayaan perumahan.


Padahal dalam aturan sebelumnya, JHT bisa diambil penuh jika karyawan sudah terdaftar selama 5 tahun.(Yoga Sukmana)

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas