Refly Harun: Enggak Mungkin Presiden Baca Semua Aturan
Refly Harun, menilai, revisi suatu peraturan yang telah ditandatangani tidak sepenuhnya menjadi kesalahan seorang presiden.
Editor: Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM.JAKARTA, — Pengamat hukum tata negara, Refly Harun, menilai, revisi suatu peraturan yang telah ditandatangani tidak sepenuhnya menjadi kesalahan seorang presiden. Tim perumus rancangan peraturan itu yang seharusnya bertanggung jawab atas rancangan peraturan yang mereka buat.
"Secara teoretis, enggak mungkin Presiden baca semua aturan karena clearence-nya adanya di staf. Jadi kalau ada yang keliru, stafnya yang salah," kata Refly saat dihubungi Kompas.com, Minggu (5/7/2015).
Ia menganggap, revisi atas suatu peraturan merupakan sesuatu yang wajar, terlebih apabila ada kritik atau ide tambahan untuk menguatkan aturan tersebut. Namun, ia tak sependapat jika revisi dilakukan lantaran Presiden dianggap tidak cermat dalam membaca setiap aturan yang ia tanda tangani. (Baca: "Presiden Harus Pelajari Aturan yang Ia Teken, Jangan Bilang 'Saya Tidak Baca'")
"Presiden itu kan sifatnya administrator. Dia memberikan arahan kepada jajarannya untuk merumuskan suatu peraturan kebijakan. Nah, tugas staf kepresidenan-lah untuk memastikan apakah aturan yang dibuat bertentangan dengan undang-undang atau tidak," tandasnya. (Baca: Berkali-kali Revisi Aturan, Manajemen Pemerintahan Jokowi Dinilai Amburadul)
Presiden sebelumnya memerintahkan jajarannya untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 soal program Jaminan Hari Tua (JHT). Revisi itu dilakukan setelah kalangan pekerja memprotes PP itu.
Protes itu terkait ketentuan pencairan dana JHT, khususnya bagi pekerja peserta JHT yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau berhenti bekerja. (Baca: Diprotes, Pemerintah Akhirnya Revisi Aturan soal Jaminan Hari Tua)
Revisi PP hanya menyangkut ketentuan pencairan JHT bagi pekerja peserta JHT yang terkena PHK atau berhenti bekerja sebelum 1 Juli 2015. Dengan demikian, pencairan JHT bagi pekerja yang terkena PHK atau berhenti bekerja tidak perlu menunggu kepesertaan JHT selama 10 tahun.
Presiden juga pernah membatalkan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan. Presiden menganggap peraturan presiden (perpres) itu tidak tepat diberlakukan saat ini. (Baca: Mensesneg: Presiden Jokowi Cabut Perpres Uang Muka Mobil Pejabat)
Presiden menganggap, tidak ada masalah substansial pada perpres itu karena pemberian bantuan uang muka mobil sudah dilakukan pada periode sebelumnya. Namun, momentum penerbitan perpres itu dianggap tidak tepat.
Tak hanya itu, Perpres Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja juga dicabut melalui penerbitan sejumlah perpres yang mengatur tiap-tiap kementerian. (Baca: Di Balik Revisi dan Pencabutan Perpres Jokowi)
Perpres Nomor 190 Tahun 2014 tentang Unit Staf Kepresidenan yang diterbitkan pada 31 Desember 2014 juga "bermasalah". Kurang dari dua bulan setelah diterbitkan, Presiden Jokowi merevisi lembaga baru itu dengan menerbitkan Perpres Nomor 26 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden pada 24 Februari 2015. Selain mengubah namanya, Presiden juga memperluas kewenangan lembaga.
Perpres lain yang "bermasalah" adalah Perpres Nomor 6 Tahun 2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif yang diterbitkan pada 20 Januari 2015 atau tepat tiga bulan usia pemerintahan Jokowi. Tiga bulan kemudian, badan yang digadang-gadang sebagai terobosan untuk meningkatkan industri kreatif itu ternyata belum bisa merekrut pegawai atau mencairkan anggaran negara untuk mendanai programnya.
Perekrutan dan pencairan dana anggaran belum bisa dilakukan karena lembaga itu belum memiliki kejelasan status sebagai lembaga pemerintah non-kementerian. Pemerintah kini tengah menyiapkan revisi atas perpres itu. (Dani Prabowo)