Jimly Akui Kecewa atas Putusan MK soal Politik Dinasti
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengaku kecewa dengan putusan MK soal politik dinasti.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengaku kecewa dengan putusan MK soal politik dinasti.
"Saya juga kecewa tapi tidak punya pilihan kecuali menghormatinya," kata Jimly saat open house di rumahnya, Jakarta Selatan, Minggu (19/7/2015).
Ia mengatakan, putusan tersebut sudah melalui perdebatan secara konstitusional di MK. Meskipun, ia tidak puas karena kontraproduktif dengan proses modernisasi kultur politik. Dimana Indonesia belum seperti Amerika serikat yang memiliki instrumen hukum lebih rasional.
"Kalau sudah seperti AS, tidak ada pembatasan seperti Hillary Clinton, bisa. Presiden dinasti seperti keluarga Bush, bisa," tuturnya.
Sedangkan Indonesia memiliki pembatasan yang dijadikan untuk merekayasa modernisasi kultur politik. Diketahui, Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan sidang mengatakan jika pasal 7 huruf r dalam UU Pilkada bertentangan dengan dengan UUD 1945.
"Pasal 7 huruf r soal syarat pencalonan bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 yang bebas diskriminatif serta bertentangan dengan hak konstitusinal dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan," kata Arief.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan tidak menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana (incumbent) memiliki berbagai keuntungan, sebagaimana dikemukakan oleh Presiden.
Sehingga karenanya penting untuk dirumuskan pembatasan-pembatasan agar keuntungan-keuntungan itu tidak disalahgunakan oleh kepala daerah petahana untuk kepentingan dirinya (jika ia hendak mencalonkan diri kembali), anggota keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengannya.
"Namun, pembatasan demikian haruslah ditujukan kepada kepala daerah petahana itu, bukan kepada keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu tersebut," ujar majelis hakim.
Sebab, keuntungan-keuntungan itu melekat pada si kepala daerah petahana sehingga kemungkinan penyalahgunaannya juga melekat pada si kepala daerah petahana.
Keluarga kepala daerah petahana atau kelompok-kelompok tertentu hanya mungkin diuntungkan oleh keadaan demikian jika ada peran atau keterlibatan si kepala daerah petahana, terlepas dari persoalan apakah peran atau keterlibatan si kepala daerah petahana itu dilakukan secara langsung dan terang-terangan atau secara tidak langsung dan terselubung.
"Terhadap kemungkinan-kemungkinan yang demikian itulah seharusnya pembatasan-pembatasan terhadap kepala daerah petahana dirumuskan dalam norma UU," ujar majelis.