Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

RUU Minuman Beralkohol Harus Dikaji Kembali Sebelum Disahkan

RUU Minuman Beralkohol tersebut harus dikaji kembali sebelum disahkan menjadi Undang-Undang.

Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Dewi Agustina
zoom-in RUU Minuman Beralkohol Harus Dikaji Kembali Sebelum Disahkan
Kompas.com
Ilustrasi minuman beralkohol. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol atau biasa dikenal Minuman Keras telah rampung pada tahap pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan di tingkat Panja Badan Legislasi di DPR RI.

Akan tetapi, RUU Minuman Beralkohol tersebut harus dikaji kembali sebelum disahkan menjadi Undang-Undang. Sebab, RUU Minumal Beralkohol harus memperhatikan berbagai aspek seperti pendapatan negara, dan ketenagakerjaan.

"Sebelum disahkan sebaiknya RUU ini harus dikaji kembali. Sebab, aspek pendapatan negara dan ketenagakerjaan harus dipikirkan sebelum RUU ini disahkan menjadi Undang-undang," kata Koordinator Barisan Rakyat Anti Korupsi dan Kriminalisasi (BRAKK), Hans Suta Widhya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (4/8/2014).

Ia sepakat, efek negatif dari minumal beralkohol atau minuman keras memang harus diperhatikan agar tidak berdampak buruk terhadap masyarakat. Akan tetapi, aspek ketenagakerjaan dan lapangan pekerjaan juga harus dilihat bila pelarangan total produksi dan distribusi miras dilakukan.

Sebab, hal tersebut bisa memunculkan jutaan pengangguran baru dari ditutupnya perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja.

"Karena itu saya menyarankan agar RUU tersebut tidak berjudul pelarangan tetapi pengendalian minol atau miras," tuturnya.

Dengan pengendalian, kata Hans, efek negatif dari minuman keras atau minuman beralkohol itu bisa ditekan dengan tidak menumbalkan jutaan tenaga kerja yang bekerja di sektor terkait. Ia menuturkan, berdasar riset CSIS 2015 pelarangan total seperti produksi dan konsumsi berakibat hilangnya pendapatan negara sebesar Rp 21,82 triliun atau setara 0,11 persen dari GDP meliputi seluruh sektor terkait.

"Jumlah tersebut tidak termasuk pendapatan cukai minuman beralkohol sebesar Rp 4,9 triliun (2014) atau Rp 6 triliun (target 2015). Bahkan, pendapatan dari sektor jasa restoran dan perhotelan akan hilang Rp 1,4 triliun karena aktivitas produksi dan distribusi terhenti," terangnya.

Tak hanya itu, Hans menjelaskan, lebih dari 100 ribu tenaga kerja akan kehilangan pekerjaan yang meliputi tenaga kerja langsung dan tenaga kerja sektor terkait, seperti pengangkutan, distribusi, hingga pertanian. Sebab, bila distribusi minol atau miras dihentikan secara total, pengurangan tenaga kerja terbanyak justru berada di sektor agriculture (pemasok bahan baku minol) dan jasa.

"Bahkan, pelarangan total justru akan memicu pasar ilegal minuman beralkohol yang lebih besar dan susah dikontrol. Dengan demikian, sebaiknya RUU tersebut tidak berjudul pelarangan tetapi pengendalian," tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas