Peneliti Setuju Sikap Jokowi Menolak Perppu Calon Tunggal di Pilkada
"Menurut saya, wacana penerbitan Perppu bukanlah sebuah solusi yang tepat dan proporsional," ungkap Nasef.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti pada Divisi Hukum Tata Negara Sinergi Masyarakat Indonesia untuk Demokrasi (Sigma), M. Imam Nasef, sependapat dengan Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menolak mengeluarkan Perppu terkait calon tunggal di Pilkada.
Menurut Nasef, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pilkada untuk menambah pengaturan tentang hadirnya pasangan calon tunggal dalam pilkada yang tidak diatur dalam UU No 1/2015 juncto UU No 8/2015, bukan solusi tepat dan substansial yang harus diterbitkan mengatasi persoalan calon tunggal di tujuh daerah.
"Menurut saya, wacana penerbitan Perppu bukanlah sebuah solusi yang tepat dan proporsional," ungkap Nasef kepada Tribunnews.com, Rabu (5/8/2015).
Sebab, imbuhnya, persoalan calon tunggal ini belum memenuhi syarat konstitusional diterbitkannya Perppu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, yaitu adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Begitu juga belum memenuhi syarat-syarat konstitusional sebagaimana tertera dalam dalam putusan MK No. 138/PUU-VII/2009.
"Persoalan calon tunggal ini belum masuk kategori state emergency, apalagi prosentasenya kecil hanya 7 dari sekitar 269 daerah yang menyelenggaraakn Pilkada, sehingga wacana penerbitan Perppu tidaklah cukup proporsional," paparnya.
Karena itu, dia mengingatkan, munculnya fenomena calon tunggal dengan berbagai macam faktor yang melatarbelakanginya dapat menjadi sebuah pelajaran bagi perjalanan demokrasi di Indonesia.
Persoalan calon tunggal dalam Pilkada sebenarnya membuktikan tidak kuatnya imajinasi para pembentuk UU baik Presiden maupun DPR dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan persoalan yang potensial terjadi ketika menyusun UU Pilkada.
"Persoalan ini juga menunjukkan proses drafting UU Pilkada tidak dilakukan dengan kajian yang mendalam dan komprehensif, sebab dibentuk dalam keadaan yang serba tergesa-gesa (sweep legislation)," jelasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.