Selingkuh Jadi Salah Satu Penyebab Munculnya Paham Radikalisme
budaya kekerasan, apalagi radikalisme atau malah terorisme itu, sama sekali bukan watak bangsa Indonesia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Budaya kekerasan berujung kepada radikalisme masih bermunculan di Indonesia.
Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Ahmad Satori Ismail menyebut banyaknya perselingkuhan menjadi salah satu penyebab munculnya aksi kekerasan berujung ke arah radikalisme.
"Upaya untuk menciptakan keluarga yang sakinah juga sangat penting. Selama ini banyaknya perselingkuhan atau kehancuran rumah tangga juga dapat mengakibatkan tidak baiknya sikap dan perilaku anak-anak kita,” ujar Ahmad Satori dalam pernyataannya, Rabu(19/8/2015).
Menurut Ahmad Satori, budaya kekerasan, apalagi radikalisme atau malah terorisme itu, sama sekali bukan watak bangsa Indonesia. Apalagi bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang santun dan memiliki toleransi yang tinggi.
Sebagai Ketua Umum IKADI, Ahmad Satori mengatakan, pihaknya selama ini terus membantu upaya pencegahan kekerasan dan radikalisme yang terjadi di masyarakat.
Caranya dengan memberikan penyuluhan di sekolah-sekolah, perkumpulan remaja, dan beberapa kegiatan remaja lainnya.
“Indonesia sudah 70 tahun seharusnya bangsa Indonesia membuang jauh-jauh budaya kekerasan apalagi yang menjurus tindakan radikalisme. Itu sama sekali tidak ada baiknya. Dengan usia seperti itu, masyarakat Indonesia sudah semakin dewasa dalam berpikir dan bertindak, demi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," kata Ahmad Satori.
Sementara itu menurut Dosen Fakultas Dirasat Islamiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah, Sahabudin salah satu solusi agar membendung paham-paham kekerasan berujung radikalisme adalah dengan kembali ke jalan Islam serta sikap toleransi.
Pasalnya Indonesia adalah negara majemuk, baik agama, suku, dan budaya, sehingga sudah
seharusnya masyarakat Indonesia kembali ke pemahaman islam yang benar serta meningkatkan toleransi demi menjaga persatuan dan kesatuan di nusantara.
“Ini menjadi tantangan bangsa Indonesia setelah memasuki usia 70 tahun. Kita semua harus bisa melakukan introspeksi diri dengan bermuhasabah dan menjalin toleransi yang lebih erat lagi,” ujar Sahabudin.