Jaksa Agung Minta Pasal Santet Masuk KUHP
Aturan tersebut terdapat dalam pasal 295 RUU KUHP yang telah diajukan pemerintah ke DPR.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pasal yang mengatur mengenai kegiatan gaib kembali masuk ke dalam rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Aturan tersebut terdapat dalam pasal 295 RUU KUHP yang telah diajukan pemerintah ke DPR.
Pasal 295 ayat (1) menyebut, "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Lalu pasal 295 ayat (2) berbunyi, "Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)."
Jaksa Agung HM Prasetyo, saat rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/9/2015), meminta agar rancangan pasal tersebut tetap dipertahankan.
"Kami berpendapat untuk tetap mempertahankan pasal tersebut, mengingat praktik perdukunan seringkali menimbulkan keresahan masyarakat," kata Prasetyo.
Dia menilai, aturan ini diperlukan agar dapat mengakhiri praktik main hakim kepada seseorang yang dituduh sebagai dukun santet.
"Pengaturan mengenai tindak pidana kekuatan gaib, santet diharapkan dapat mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun santet," ujarnya.
Prasetyo mengakui kemunculan pasal ini dalam draft RUU KUHP periode lalu sempat menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Saat itu, beberapa pandangan menyatakan delik tersebut bersifat irasional sehingga pembuktiannya sulit dilakukan.
Namun dia menilai, aturan mengenai kegiatan gaib ini tetap diperlukan mengingat masih banyaknya praktik gaib yang kerap terjadi di Indonesia. (Ihsanuddin)