Marak, Spanduk Tolak Negara Danai Kampanye Calon Kepala Daerah
terdapat beberapa spanduk dari beberapa organisasi yang intinya menolak negara menanggung dana kampanye calon kepala daerah.
Penulis: Johnson Simanjuntak
“Pertanyaannya adalah apa feet back dari pembiayaan pilkada oleh negara terhadap publik? Belajar dari sebelumnya, jawabannya sama sekali tidak ada. Sampai sekarang publik tidak merasakan efek positif dari pilkada,” katanya.
Pengamat politik itu lebih jauh mengatakan, ada tiga alasan mengapa dirinya menolak negara membiayai pilkada.
Pertama, partai politik sampai saat ini belum berubah. “Supaya partai dapat uang dari rakyat, dia harus berubah dulu. Butikan bahwa partai politik benar-benar bekerja untuk rakyat dan kita harus membayar mereka,” katanya.
Kedua, partai politik saat ini tidak punya mekanisme kontrol dan tidak punya etos kerja untuk mencari dan memilih pemimpin yang bersih. “Yang ada justru parpol menawarkan calon pemimpin yang korup,” katanya.
Ketiga, partai politik harus membuktikan dulu bahwa mereka sudah melaksanakan tugas dengan baik dan benar.
“Jika partai politik sudah menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan benar, maka berapa pun biaya pilkada akan diberikan oleh rakyat,” katanya.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jerry Sumampouw juga mempertanyakan soal ini bahwa apakah pembiayaan negara ini terkait langsung dengan kepentingan rakyat banyak atau tidak?
“Karena jika para kandidat kepala daerah yang terpilih nanti bekerja tidak sesuai keinginan rakyat banyak, maka saya pikir gugatan ini ada benarnya,” katanya.
Sementara itu, Vivi Ayunita Kusumandari, kuasa hukum pemohon uji materi Pasal 65 Ayat (2) UU Pilkada ini mengatakan, para pemohon menilai penggunaan dana negara untuk membiayai kampanye pilkada telah melahirkan sebuah proses pemilu yang tidak adil.
Pasalnya, bagi calon petahana sangat jelas mereka telah terkenal di daerahnya. Dengan kampanye dibiayai APBD, maka mereka akan mendapat keuntungan dua kali lipat dari pasangan non-petahana.
“Ini sangat tidak adil untuk calon kepala daeran non-petahana,” katanya.
Vivi lebih jauh mengatakan, masalah yang lebih serius lagi adalah soal kesiapan anggaran pilkada.
Dikatakannya, banyak daerah yang belum menganggarkan biaya pilkada dalam APBD 2015. Akibatnya, kekurangan dana pilkada itu diambil dari pos lain. Ini yang mengakibatkan terganggunya pembangunan di daerah dan merugikan rakyat banyak.
“Ini dibuktikan dengan adanya 10 temuan BPK tentang ketidaksesuaian penggunaan anggaran pilkada,” katanya.