Penegak Hukum Harus Dapat Izin Presiden untuk Periksa Anggota DPR
Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk penegak hukum ingin memeriksa anggota DPR harus mendapat izin Presiden.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk penegak hukum ingin memeriksa anggota DPR harus mendapat izin Presiden.
Sehingga tak berlaku lagi aturan yang menyebut pemberian izin dapat memeriksa berasal dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Putusan ini bertentangan dengan yang dimohonkan para pemohon, yang menginginkan aturan dalam pemeriksaan anggota DPR tidak perlu mendapatkan izin MKD. Tapi MK memutuskan lebih dari itu, yakni izin harus diterbitkan Presiden.
Hakim MK, Wahiduddin Adams mengatakan, ini bukan sesuatu yang baru. Pasalnya, pemberian persetujuan dari presiden ke pejabat negara yang sedang mengalami proses hukum sebenarnya telah diatur dalam sejumlah UU. Antara lain UU MK, UU BPK, dan UU MA.
Karena itu, Wahidudin mengatakan MK menilai pemberian izin pemanggilan anggota dewan dari MKD tidak tepat. Wahiduddin menekankan MKD adalah bagian dari alat kelengkapan dewan dan tidak berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana.
Mahkamah juga berpendapat pemberian izin dari MKD akan sarat kepentingan. Sebab kata Wahiduddin, anggota MKD merupakan bagian dari anggota dewan itu sendiri.
Selain itu, kata Wahiduddin, putusan ini sebagai bentuk fungsi dan upaya membenarkan mekanisme check and balances anatara legislatif dan eksekutif.
"Sehingga mahkamah (MK) berpendapat izin tertulis seharusnya berasal dari presiden, bukan dari mahkamah kehormatan dewan," kata Wahiduddin saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (22/9/2015).
Diungkapkan Wahiduddin, Mahkamah menilai dengan putusan ini, anggota dewan yang dipanggil atau dimintai keterangan bisa tetap dapat melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai anggota DPR. Mahkamah juga berpendapat persetujuan dari presiden harus diterbitkan dalam waktu singkat.
Tidak hanya anggota DPR, MK dalam putusannya juga memberlakukan terhadap anggota MPR dan DPD.
Sementara itu, untuk pemanggilan anggota DPRD Provinsi yang diduga berkaitan dengan proses hukum harus mendapat persetujuan dari Mendagri. Adapun anggota DPRD Kabupaten harus mendapat izin Gubernur.
Dengan begitu, dilanjutkan Ketua Hakim yang juga Ketua MK, Arief Hidayat bahwa frasa persetujuan tertulis pada Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.
"Pasal 245 ayat 1, selengkapnya menjadi pemanggilan dan permintaan keterangan tertulis untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden," kata Hakim Arief.
Mahkamah juga memutuskan frasa persetujuan tertulis pada Pasal 224 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan Presiden.
Sebelumnya, Pasal 224 ayat 5 berbunyi, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, 2, 3 dan 4 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD.