"Kami Melempar Jumrah dari Lantai Tiga"
ada yang masuk ke Mekkah dengan visa haji, visa tenaga ahli atau populer dengan sebutan visa direktur, dan visa umal atau tenaga kerja
Penulis: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS, COM. MINA - "Kabar duka cita itu kami terima selepas tengah hari waktu setempat, Kamis (24/9). Kami masih beristirahat di tenda yang kami tempati sejak di Mina, salah satu dari tenda Makbat 68," itulah percakapan salah satu jemaah Haji Indonesia, Heru Pujihartono dengan tribunnews.com melalui telepon seluler, Kamis petang (24/9/2015).
Makbat adalah kelompok atau grup dari jemaah haji berbagai negara, termasuk Indonesia. Makbat 68 mayoritas terdiri dari jemaah asal negara-negara ASEAN. Khusus Indonesia, sebagian besar jemaahnya adalah haji khusus non kuota, lebih dari haji dengan ONH plus.
Menariknya, dikatakan Heru Pujihartono, ada yang masuk ke Mekkah dengan visa haji, visa tenaga ahli atau populer dengan sebutan visa direktur, dan visa umal atau tenaga kerja.
Biaya yang dikeluarkan untuk dikeluarkannya visa dari tiga ketentuan itu jauh lebih besar dari ONH haji reguler, yang menunggu pemberangkatannya antara lima hingga 10 tahun dengan biaya yang dikeluarkan jauh lebih rendah, yakni antara 30-an hingga 40-an juta.
Dari beberapa macam keberangkatan tersebut, jumlah jemaah haji Indonesia pada tahun 2015 ini tetap yang terbesar dibanding negara-negara lainnya.
Malaysia saja, yang sudah lama memproklamirkan dirinya sebagai 'negara Islam', hanya mendapat kuota sebanyak sekitar 22.000 orang. Itu hanya seperdelapan dari jemaah haji Indonesia, yang diperkirakan mencapai sekitar 175.000 orang.
Akumulasi jemaah haji tahun ini diperkirakan antara 3 hingga 5 juta orang, dari seluruh penjuru dunia.
"Nah, bayangkan jika seluruh jemaah tersebut berkumpul di Mudzalifah pada Rabu malam, setelah sepanjang siang harinya menjalani wukuf di Padang Arafah di mana cuaca siang hingga menjelang sore harinya mencapai 46 derajat celcius," jelasnya.
Di Mudzalifah, setelah mengumpulkan batu-batu untuk melempar Jumrah Aqobah di terowongan Mina, mereka diperkenankan meninggalkan Mudzalifah setelah lewat tengah malam.
Di masa lalu Nabi Muhammad SAW memang berada di Mudzalifah hingga usai Shallat Subuh.
Namun, kondisi di Mudzalifah saat zaman Nabi Muhammad SAW dan pada keadaan sekarang sangat jauh berbeda. Dulu, umat Islam tak sebanyak sekarang, sehingga Mudzalifah jauh lebih sepi.
Dari Mudzalifah, sebagiaan jemaah sudah mulai diangkut dengan bus-bus besar untuk kembali ke maktab/tendanya masing-masing selepas tengah malam.
Namun, banyak juga jemaah dari berbagai daerah, travel atau negara, yang meninggalkan Mudzalifah selepas tengah malam dengan berjalan kaki, berombongan.
Tujuan mereka, langsung melempar Jumrah Aqabah. Hal ini sebenarnya bisa difahami. Mereka ingin langsung melontar Jumrah sekalian capek.
Setelah itu mereka bisa lebih banyak beriistirahat di kamarnya, sekaligus menyimpan tenaga untuk melontarkan jumrah pada Jumat dan Sabtu, sesuai ketentuan, sebelum menyempurnakan ibadah hajinya dengan melakukan tawaf dan sai di Masjidil Haram, Mekah.
"Kami termasuk yang memutuskan meninggalkan Mudzalifah sekitar jam 00.30 waktu Mina, atau sekitar 04.30 wib," kata Heru Pujihartono
Heru, yang disertai sahabatnya Tubagus Adhi, menjalani ibadah haji untuk lebih mensyukuri kemajuan dari perusahaan katering Nendia Primarasa yang sudah 11 tahun berdiri.
Perusahaan katering yang didirikannya bersama istri tercintanya ini, Resti Nendia, berkembang cukup pesat dan memiliki klien fanatik yang setia pada menu-menu andalan mereka.
DIBERIKAN KEMUDAHAN
Terkait dengan musibah yang terjadi saat melontar Jumrah Aqobah itu, Heru Pujihartono mengurai kesedihannya.
"Semoga mereka memperoleh tempat terbaik di sisi Allah swt, sesuai dengan amal ibadahnya," ungkap pemilik klub sepakbola Jakarta Matador FC ini, dan juga anggota Indonesia Millenium Development Force (IMDF) PSSI 2015-2019.
Heru menjelaskan, bahwa musibah yang di terowongan Mina saat melontar Jumrah Aqabah itu terjadi beberapa jam setelah ia menyelesaikan melontar jumrah Aqobah itu sekitar pkl empat pagi waktu setempat.
Saat itu, rombongan-rombongan besar dari Mudzalifah secara bergelombang sudah tiba di mulut terowongan. Panjang terowongan Mina hingga ke tempat melontar jumrah itu sekitar belasan kilometer.
PERKELAHIAN?
Bayangkan kelelahan fisik dan mental yang mendera para jamaah, tak terkecuali meraka yang berasal dari berbagai negara.
Di sisi lain, sebagian dari jemaah ingin melontar jumrah dari tingkat pertama atau terbawah. Padahal, panitia dari Indonesia sudah sejak awal memperingatkan agar jemaah Indonesia seyogyanya melontar jumrah dari tingkat tiga saja, jadi tak perlu turun ke bawah, ke lantai pertama.
Ditengah kelelahan fisik dan mental itu, terjadi berbagai peristiwa memilukan di tempat pelontaran jumrah itu. Diantaranya, ada isu mengenai perkelahian antara kelompok jemaah dari Turki dengan Pakistan.
Yang jelas, situasi menjadi makin sulit dikontrol karena jumlah jemaah yang makin membesar di tempat pelontaran jumrah tersebut. Situasinya menjadi begitu mengenaskan.
"Subhanallah...Saya sendiri benar-benar diberikan kelancaran dan kemudahan oleh Allah swt. Tadi malam seperti diberikan banyak keajaiban, dari usai proses tawaf di Arafah, saat di Mudzalifah, kembali ke Mina, saat melempar jumrah, dan kembali ke tenda/makbat di mina.Semua lancar. Jam 04.an waktu setempat, atau sebelum Subuh (jam 8-an waktu Indonesia), kami sdh di Makbat, mandi bersih, melepas ihram dan sholat subuh. Alhamdulillah. Sekarang sudah gundul. Allah Akbar," Heru menjelaskan. tb