RUU Jasa Kontruksi Harus Beri Kepastian Hukum
Rancangan Undang-Undang Jasa Kontruksi harus mampu memberikan kepastian hukum bagi para pelaku sektor Jasa Kontruksi
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Rancangan Undang-Undang Jasa Kontruksi harus mampu memberikan kepastian hukum bagi para pelaku sektor Jasa Kontruksi agar dapat mendukung percepatan pembangunan nasional.
Hal ini diungkapkan oleh politisi PDI Perjuangan Sukur Nababan dalam diskusi RUU Jasa Kontrusi yang digelar Dirjen Bina Kontruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan 20 Asosiasi Badan Usaha dan Profesi Jasa Kontruksi, Selasa, (29/9).
Sukur mengatakan, sektor jasa kontruksi mengalami persoalan cukup krusial. Menurutnya, pelaksana dan penyedia jasa kontruksi rentan terseret masalah hukum, hal ini disebabkan karena UU Jasa Kontruksi No 18 Tahun 1999 tidak memberikan kepastian perlindungan hukum. Bahkan, fenomena yang ada menunjukan telah terjadi "Kriminaliasi" di sektor jasa kontruksi.
"UU No 18 Tahun 1999 sebenarnya cukup bagus, tapi masih ada beberapa kelemahan yang harus kita sempurnakan. Salahsatunya adalah terkait kepastian hukum. Ini penting, agar pelaksanaan pembangunan dapat berjalan dengan lancar," kata Sukur yang juga anggota Panja RUU Jasa Kontruksi.
Dikatakan, dampak dari tidak adanya kepastian hukum menyebabkan banyak pelaksana Jasa Kontruksi sangat berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaan. Salah satu indikasinya adalah rendahnya penyerapan anggaran.
Sukur memaparkan, hingga 31 Agustus 2015, penyerapan APBN-P 2015 realisasi belanja Kementerian/Lembaga (K/L) baru mencapai Rp307,7 trilyun atau 40,3 persen dari pagunya. Di Kementerian PUPR yang didominasi belanja sektor kontruksi, penyerapan anggarannya sampai dengan bulan Agustus baru dikisaran 30 persen, dari total anggaran Rp118,5 triliun.
"Para pelaku sektor Jasa Kontruksi sangat rentan mengalami kriminalisasi. Kadang persoalannya hanya kurang bayar dan lebih bayar, tapi itu bisa berubah menjadi tindak pidana korupsi. Untuk itu perlu ada formulasi yang tepat agar mampu melindungi sektor Jasa Kontruksi," jelasnya.
Menurut Sukur, untuk menyelesaikan persoalan Jasa Kontruksi perlu ada mekanisme tersendiri yang diatur dalam RUU. Dia mencontohkan adanya Dewan Pers dalam UU Pers yang bertugas menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan pemberitaan di media massa.
"Seperti dalam UU Pers, jika ada masalah diselesaikan dulu di Dewan Pers. Aparat penegak hukum tidak bisa langsung membawa persoalan ke ranah pidana. Nah, kita ingin ke depan sektor kontruksi juga seperti itu," kata dia.
Ditegaskan, yang berhak untuk menetapkan Kegagalan Kontruksi, baik kegagalan pekerjaan kontruksi maupun kegagalan bangunan adalah Dewan Kehormatan, setelah melalui serangkaian penilaian yang dilakukan penilai ahli.
"Penilai ahli dari Dewan Kehormatan inilah yang berhak menentukan apakah sebuah pekerjaan kontruksi tersebut berpotensi masalah pidana atau hanya bersifat perdata," ujarnya.
Ia berharap RUU Jasa Kontruksi memberikan ruang bagi Asosiasi Badan Usaha dan Profesi. Selama ini, katanya, Asosasi tidak memiliki hak untuk melakukan sertifikasi badan usaha dan sertifikasi profesi. Asosiasi hanya sebagai pengumpul dan selanjutnya diserahkan kepada LPJK
"Asosiasi harus diberikan kewenangan untuk melakukan sertifikasi dan akreditasi, sehingga peran pembinaan dan pengembangan terhadap anggotanya bisa berjalan dengan baik," kata dia.
Namun, Asosiasi yang bisa melakukan sertifikasi dan akreditasi, harus sudah mendapat akreditasi oleh Lembaga Pengembangan. Beberapa persyaratannya harus terpenuhi, misalnya ; penyebaran cabang di daerah dan jumlah anggota.
"Setiap perusahaan asing yang hendak mengerjakan proyek Jasa Kontruksi juga harus mendapat sertifikasi oleh Asosiasi. Ini penting agar keterlibatan modal dalam negeri dan transfer teknologi bisa berjalan. Apalagi ke depan kita akan berhadapan dengan persaingan global yang sangat pesat," pungkas Sukur.
Sukur juga mengulkan perlunya sebuah Lembaga Pembiayaan Jasa Kontruksi, yang bisa memberikan pinjaman dengan bunga lebih rendah dari Bank. "Saya bermimpi jika lembaga ini berbentuk koperasi, dimana dananya berasal dari anggota dan untuk anggotanya," pungkas Sukur.