Enam Pokok Keberatan KPK Revisi Bikinan DPR
Saat membacakan pernyataan sikap KPK, Ketua Taufiequrachman Ruki menyampaikan enam pokok keberatan.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak keras draft revisi atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diusulkan DPR RI.
Saat membacakan pernyataan sikap KPK, Ketua Taufiequrachman Ruki menyampaikan enam pokok keberatan.
Pertama, KPK menolak Pasal 5 dalam draft revisi UU KPK yang berbunyi KPK dibentuk untuk masa 12 tahun sejak revisi tersebut disahkan menjadi undang-undang.
KPK menentang pasal tersebut berdasarkan Pasal 2 angka 2 TAP MPR Nomor 8 tahun 2001 MPR RI yang mengamanatkan pembentukkan KPK dan tidak disebutkan adanya pembatasan waktu.
Kedua, KPK mengkritik keras DPR yang menghilangkan kewenangan lembaga antirasuah itu dalam hal penuntutan.
Menurut Ruki, proses penuntutan yang dilakukan KPK merupakan bagian tidak terpisahkan penanganan perkara terintigerasi.
"12 tahun ini KPK membuktikan ada kerja sama yang baik penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang dibuktikan dikabulkannya tuntutan oleh majelis 100 percent convictional rate," kata Ruki saat memberikan keterangan pers di kantornya, Jakarta, Rabu (7/10/2015).
Ketiga, KPK juga menolak mengenai bunyi Pasal 13 dalam draft revisi UU KPK yang mensyarakat kewenangan KPK menyidik kasus korupsi haruslah bernilai minimal Rp 50 miliar.
"Pembatasan penanganan perkara oleh KPK harus di atas Rp 50 miliar adalah tidak mendasar karena KPK fokus kepada subjek hukum, bukan kepada kerugian negara yaitu subjek hukum penyelenggara negara TAP MPR 11/1999 Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN," ujarr Ruki.
Keempat, KPK juga menyoroti mengenai KPK yang harus minta izin ketua Pengadilan Negeri apabila melakukan penyadapa seperti dalam Pasal 14 draft revisi UU KPK.
Menurut Ruki, KPK memperkuat akuntabilitas kewenangan penyadapan, berdasarkan putusan MK tahun 2003, MK menyatakan bahwa kewenangan penyadapan KPK tidak melanggar konstitusi sehingga perlu dipertahankan.
"Selama ini kewenangan penyadapan sangat mendukung keberhasilan KPK dalam pemberantasan korupsi. Kalau dicabut akan melemahkan upaya-upaya KPK pemberantasan korupsi. Kedua penyadapan legal by regulated bukan court order, bukan izin pengadilan," lanjut purnawirawan Polri bintang dua itu.
Kelima, KPK tidak setuju bisa mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Menurut Ruki, KPK hanya bisa mengeluarkan SP3 jika seorang tersangka meninggal dunia.Alasan kedua adalah tersangka tidak layak diperiksa di pengadilan istilah hukumnya unfit to stand the trial.
"Keenam KPK harus diberikan kewenangan untuk melakukan rekrutmen pegawai secara mandiri termasuk mengangkat peyeldik dan penyidik dan penuntut umum yang diangkat langsung oleh pimpinan KPK berdasarkan kompetensinya bukan karena statusnya sebagai anggota polisi atau jaksa," tukas Ruki.