Kejagung Bentuk Tim Jaksa untuk Eksekusi Yayasan Supersemar
Kejaksaan Agung telah menerima surat kuasa khusus dari Presiden Joko Widodo
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung telah menerima surat kuasa khusus dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait penyitaan aset milik Yayasan supersemar senilai Rp 4,4 triliun.
Jaksa Agung Prasetyo mengatakan nantinya berbekal surat itu, kejaksaan Agung segera melakukan proses eksekusi yayasan bentukan Soeharto tersebut.
"Kami akan bentuk tim jaksa untuk melakukan koordinasi dengan pengadilan. Nanti yang melaksanakan kan pengadilan. Kami sebagai pihak yang berkepentingan akan berkoordinasi dengan mereka," tutur Prasetyo, Rabu (21/10/2015) di Kejagung.
Ditanya soal aset-aset mana saja akan akan dieksekusi, Prasetyo mengaku belum memiliki catatan itu. Menurut Prasetyo, yang mengetahui soal aset-aset itu ialah pihak yayasan.
"Akan dikomunikasikan dulu dengan PN Jaksel, setelah itu baru tentukan ambil langkah apa. Mungkin bisa juga dipertemukan, nanti lihat sikap tergugat, apa bersedia secara sukarela atau tidak," katanya.
Dalam perkara ini, Prasetyo bertindak mewakili negara sebagai jaksa pengacara negara untuk menggugat yayasan bikinan Soeharto.
Prasetyo menambahkan dirinya harus mempunyai pijakan hukum yang tepat untuk melakukan eksekusi sehingga tidak ada kesalahan.
Terpisah, pihak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengaku tidak tahu apa saja aset-aset yang kemungkinan akan disita dari yayasan Supersemar.
Menurut Ketua Humas PN Jaksel Made Sutrisna, Kejaksaan Agung (Kejagung) selaku jaksa pengacara negara menurutnya lebih mengetahui aset-aset dari yayasan tersebut.
"Kami belum tahu apa saja, justru Kejaksaan Agung yang lebih tahu," kata Made
Sebelumnya, Wakil Ketua MA Bidang Nonyudisial, Suwardi, bersama anggota majelis hakim Soltony Mohdally dan Mahdi Soroinda Nasution memutuskan mengabulkan gugatan Kejaksaan Agung terhadap mantan Presiden Soeharto. Vonis diputuskan pada 8 Juli 2015.
Kasus bermula saat Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 yang menentukan lima dari 50 persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar.
Namun pihak Yayasan Supersemar tidak memenuhi pembayaran kas negara sebesar 5 persen dari total laba yang dihasilkan sesuai ketentuan yang disepakati. Akibatnya negara diperkirakan merugi sebesar 315 juta dolar Amerika dan Rp 139,438 miliar.
Berdasar putusan tersebut, MA mewajibkan Yayasan Supersemar membayar ganti rugi dan denda Rp 4,4 triliun dengan teknis yang akan diatur oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagai pengadilan tingkat pertama.