Pemuda Muhammadiyah Nilai Program Bela Negara Mirip Wajib Militer
Bahkan terkesan ingin memaksakan masyarakat wajib militer.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, berbeda pandangan dengan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) terkait program bela negara.
Menurut Dahnil langkah yang ditempuh Kemenhan dengan merekrut jutaan warga sipil guna mengikuti program itu adalah pemborosan keuangan negara.
Bahkan terkesan ingin memaksakan masyarakat wajib militer.
Seharusnya, kata Dahnil, Menhan bila saja menggandeng komunitas-komunitas yang sudah memiliki kader bela negara. Seperti di Muhammadiyah dan NU dan organisasi lainnya. Sebab selain menghemat uang negara, para kader seperti Barisan Ansor Sebaguna NU atau Hizbul Wathan di Muhammadiyah, sudah siap pakai.
"Nah, komunitas-komunitas ini harusnya didekati secara aktif, karena itu bisa menghemat biaya negara dengan cara-cara seperti itu. Kan komunitas ini sudah jadi, tinggal pemerintah secara rutin membina mereka, menginjeksi nilai-nilai apa yang ingin didorong pemerintah," kata Dahnil di Gedung Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Rabu (28/10/2015).
Lagipula, tegas Dahnil, pihaknya juga tidak sependapat dengan penyebutan bela negara. Menurutnya penyebutan itu, seolah-olah negara saat ini dalam keadaan perang. Lagipula, lanjut Dahnil, program tersebut seharusnya terkoneksi dengan Kementerian Pendidikan. Harus memiliki sistematika yang baik dan benar. Tak terjebak dengan formalitas belaka dan hanya mencapai hal yang tidak subtantif.
"Jadi jangan sampai program ini, satu yang kami pasti tolak terkesan wajib militer, tapi dia harus dimaknai sebagai menumbuhkan rasa cinta negara. Bakah saya mengusulkan namanya jangan bela negara, karena defensif sekali karena seolah-olah apa gitu, mau perang. Tapi programnya diganti jadi cinta negara gitu loh. Ini lebih feminim," ujarnya.