Agar Tidak Tumpang Tindih Perda Dunia Usaha Harus Diselaraskan dengan UU
ada kesalahpahaman dimana seakan-akan peraturan yang diterbitkan oleh Gubernur (Pemerintah Daerah) merupakan Peraturan Daerah (Perda)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berbagai peraturan di daerah terkait dengan dunia usaha, khususnya pajak daerah perlu mendapat perhatian untuk diselaraskan dengan Undang-undang agar tidak tumpang tindih atau bertentangan satu sama lainnya.
Menurut pengamat dan praktisi hukum Humphrey Djemat ada banyak calon investor asing yang menjadi ragu untuk menginvestasikan dananya di Indonesia setelah melihat adanya pertentangan antara peraturan perpajakan di daerah dengan UU yang berlaku secara nasional.
"Sebagai contoh, mengenai penerapan pajak air permukaan. Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah telah diatur tarif pajak air permukaan maksimum sebesar 10% (sepuluh persen), namun di suatu daerah ternyata ditemukan penetapan tarif pajak air permukaan yang lebih besar dari 10% (sepuluh persen)," ujar Humphrey dalam pernyataannya, di Jakarta Senin(16/11/2015).
Humphrey mengatakan peraturan yang mengenakan tarif pajak yang melebihi ketentuan UU tersebut bahkan hanya diatur dalam bentuk Peraturan Gubernur, padahal menurutnya berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah seharusnya dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
Menurut Humphrey, ada kesalahpahaman dimana seakan-akan peraturan yang diterbitkan oleh Gubernur (Pemerintah Daerah) merupakan Peraturan Daerah (Perda), padahal keduanya merupakan produk hukum yang berbeda.
"Peraturan Gubernur merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur selaku eksekutif di daerah, sedangkan Perda merupakan Peraturan yang dibuat oleh DPRD (wakil rakyat) bersama-sama dengan eksekutif (Gubernur)," ujarnya.
Oleh karena itu lanjut Humphrey, setiap tindakan pejabat daerah yang memungut pajak air permukaan dengan mengacu pada Peraturan Gubernur, maka hal tersebut merupakan tindakan yang bertentangan dengan UU.
Humphrey menambahkan, Peraturan Gubernur yang bertentangan dengan hukum (UU) dapat dibatalkan melalui mekanisme Judicial Review ke Mahkamah Agung karena sesuai dengan asas hukum lex superiori derogate lege inferiori, aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Sementara itu Praktisi Hukum perpajakan Darneliwita menyatakan, pemungutan pajak (terhadap masyarakat, baik orang maupun perusahaan) seharusnya didasarkan pada suatu peraturan yang dibuat bersama antara wakil rakyat daerah (DPRD) dengan eksekutif daerah, karena itulah ada adagium “no tax without representative” atau tidak ada pajak tanpa perwakilan (rakyat) sejak masa revolusi Amerika.
Artinya, pemungutan suatu pajak harus didasarkan persetujuan (kesepakatan) bersama antara DPRD selaku perwakilan rakyat dengan Gubernur.
"Oleh karena itu, pemungutan pajak yang didasarkan pada Peraturan Gubernur (bukan Perda sebagai hasil kesepakatan bersama antara DPRD dan Gubernur) tidak dapat dibenarkan selain dapat mencederai rasa keadilan bagi masyarakat sebagai subjek pajak," kata Darneliwita.
Darneliwita juga menambahkan, apabila ada masyarakat yang merasa dirugikan terkait dengan penetapan utang pajak yang didasarkan pada Peraturan Gubernur yang bertentangan dengan UU, maka masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap penetapan hutang pajak tersebut kepada Pemerintah Daerah.
Apabila keberatan tersebut ditolak, maka upaya hukum yang dapat dilakukan adalah dengan mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
Bahkan, apabila nantinya Pengadilan Pajak menolak banding tersebut, masyarakat masih dapat mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.