Bom Paris dan Ancaman Teror di Indonesia
Serangan di Paris bukan tidak mungkin akan memantik mereka untuk bergerak melakukan aksi di Indonesia
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Noor Huda Ismail
TRIBUNNEWS.COM - Kurang dari setahun setelah peristiwa penembakan di kantor majalah Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang, Paris diguncang kembali aksi teror 13-14 November 2015.
Kali ini, simbol kebebasan masyarakat Paris yang kosmopolitan, yakni stadion olahraga, gedung konser, dan restoran, jadi sasaran teror yang terkoordinasi dan menewaskan tak kurang dari 129 orang. Bagaimana dampak serangan teror ini terhadap masa depan hubungan dunia Islam dan Barat? Akankah aksi teror serupa bisa terjadi di Indonesia?
Pertanyaan itu layak dikemukakan karena dua hal. Pertama, setiap kali aksi terorisme muncul, umat Islam, apalagi yang hidup di negara Barat, terbebani untuk membela agama mereka bahwa terorisme tidaklah lahir dari rahim Islam. Terorisme adalah aksi kekerasan kepada warga sipil untuk tujuan politik. Sering kali pelaku mencatut nama agama, termasuk yang dilakukan Negara Islam (Islamic State/IS). Rezim anti-agama seperti Pol Pot, pemimpin Khmer Merah di Kamboja, pun melakukan aksi teror terhadap warganya hingga menewaskan 1,7 jutaan orang.
Kedua, Indonesia punya sejarah resistansi panjang terhadap pemerintah yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara sejak masa Darul Islam (DI) tahun 1950-an. Hingga hari ini, imajinasi hidup di bawah negara Islam masihlah dirawat dengan baik oleh sebagian diaspora DI di seluruh Indonesia. Tidaklah mengagetkan jika 400-an WNI yang telah bergabung dengan IS di Irak dan Suriah hari ini berasal dari daerah yang dulunya merupakan basis-basis DI.
Sejatinya, IS muncul karena oplosan tiga fenomena yang saling berkelindan. Pertama, invasi ilegal Amerika terhadap Irak tahun 2003. Invasi ini berhasil "memerdekakan" rakyat Irak dari cengkeraman rezim Saddam Husein yang sekuler. Kedua, rezim boneka bermazhab Syiah pengganti Saddam yang dibentuk Amerika telah melakukan diskriminasi sistematis terhadap mayoritas pengikut mazhab Sunni yang melahirkan ISI (Islamic State in Iraq), gerakan resistansi lokal warga Irak terhadap invasi Amerika yang dipimpin Abu Mushab Az-Zarqawi. Zarqawi adalah veteran perang Afghanistan 1980-an yang pernah berafiliasi dengan Al Qaeda yang sangat anti-Syiah.
Ketiga, ketika konflik di Suriah pecah, ISI melakukan ekspansi ke wilayah Suriah dengan mengubah nama menjadi ISIS (Islamic State in Iraq and Syria/Negara Islam di Irak dan Suriah). Al Baghdadi mendeklarasikan berdirinya "negara baru" dengan nama Islamic State atau "Daulah Islamiyah" (Daesh), Juni 2014.
Trauma sejarah
Dengan kompleksitas peta politik di atas, rasanya tidaklah cukup bagi dunia Barat jika melihat Islam sebagai sebuah agama "lain" yang terus dianggap sebagai ancaman. Islam telah berada di Eropa sejak abad ke-8 dan masuk ke Amerika Utara sejak abad ke-16 ketika para budak dari Afrika dibawa ke benua ini. Islam telah menjadi salah satu pilar peradaban Barat seperti halnya Kristen dan Yahudi.
Richards Bulliet, sejarawan dari Universitas Colombia, menulis Islam adalah "peradaban terbuka" (open civilization). Hal ini ditandai munculnya fenomena "Muslim selatan" pada periode 1.300-1.900. Pada masa itu terjadi gelombang orang dari wilayah Barat, Afrika Selatan, India utara, Banglades, Asia Tenggara, dan juga Tiongkok yang masuk Islam. Menurut Bulliet, fenomena ini menunjukkan adanya gerakan migrasi Muslim ke Barat yang punya corak keislaman berbeda. Ironisnya, suara mereka ini jarang didengar dunia Barat yang seolah-olah terus merawat imajinasi Islam yang konservatif dan puritan seperti dikembangkan gerakan Wahabi di Arab Saudi yang juga didukung Barat.
Jihad "freelance"
Tak dapat dimungkiri, sebagian Muslim di negara Islam bersikap curiga terhadap Barat. Sikap ini biasanya ditandai dengan penolakan kebijakan luar negeri mereka. Namun, penolakan ini tidaklah menunjukkan hubungan "sebab akibat", tetapi harus dibaca sebagai "trauma sejarah". Lebih dari separuh abad hingga hari ini, jika masih dianggap menguntungkan dunia Barat, para presiden atau raja di negara-negara Islam, meski mereka diktator, akan didukung Barat.
Oleh karena itu, jika kemudian balasan dari serangan Paris ini adalah koalisi Barat melawan IS dengan melakukan operasi militer besar-besaran, Barat sejatinya telah masuk dalam jebakan narasi besar IS, yaitu "koalisi Barat melawan Islam" yang akan membangun simpati kelompok yang awalnya menentang IS. Narasi besar ini telah IS bangun secara sistematis di dunia maya melalui pasukan IS di Twitter, Facebook, Instagram, dan Youtube kepada jutaan anak muda yang haus aksi jihad di dunia, termasuk di Indonesia. Mereka ini lebih banyak menghabiskan waktu online daripada offline.
Serangan di Paris bukan tidak mungkin akan memantik mereka untuk bergerak melakukan aksi di Indonesia karena juru bicara IS, Al-Adnani, sejak tahun lalu telah mengeluarkan fatwa untuk melakukan serangan terhadap musuh-musuh IS di mana pun mereka berada. Di saat yang sama, masih minim upaya negara dan masyarakat sipil menangkis narasi IS itu. Hari ini kelompok jihad di Indonesia terpecah antara yang mendukung dan yang menolak IS. Hal ini justru akan mendorong munculnya fenomena jihad freelance, yaitu munculnya kelompok kecil yang muak dengan perbedaan pendapat di antara para senior, sedangkan mereka tidak bisa pergi ke Suriah. Kelompok ini memilih memisahkan dari organisasi lama dan berdiri sendiri dengan tokoh baru dan berbeda dari mulai pola, target, ketahanan, logistik, hingga personel.
Noor Huda Ismail
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian