Anggota Pansus Pelindo II: Ini Bukan Kesalahan tapi Perampokan
"Hari ini memperkuat Pansus Pelindo, JICT dijalankan sendiri maka jauh lebih menguntungkan dibandingkan konsesi kepada HPH."
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Robertus Rimawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pansus Pelindo II menggelar rapat dengan Deutsche Bank (DB), FRI, dan Bahana Sekuritas pada Rabu (17/11/2015).
Anggota Pansus Pelindo II Daniel Johan menuturkan pihak FRI secara tegas bahwa Indonesia akan lebih untung bila menjalankan sendiri Terminal Peti Kemas Jakarta daripada dipegang oleh Hutchinson Port Holding (HPH)
"Hari ini memperkuat Pansus Pelindo, JICT dijalankan sendiri maka jauh lebih menguntungkan dibandingkan konsesi kepada HPH," tutur Daniel di Gedung DPR, Jakarta, Rabu.
Ia menjelaskan Deutsche Bank (DB) yang berbasis di Belanda, menyatakan bahwa Indonesia lebih untung bila JICT tetap diberikan penguasaannya kepada HPH.
Seperti disampaikan DB kepada Pansus, bahwa bila kontrak pengelolaan JICT dengan HPH habis pada 2019 dan lalu diperpanjang, Indonesia hanya mendapat USD 200 juta melalui PT Pelindo II.
Tapi kalau tidak diperpanjang, DB menilai Indonesia harus mengembalikan ke HPH sebesar USD 400 juta.
Asumsi itu muncul karena dihitung bahwa nilai aset JICT pada 2019 adalah USD 800 juta.
51 persen saham JICR adalah milik HPH dan itu senilai USD 400 juta.
"Padahal, sebenarnya, di kontrak yang diteken 1999, jelas tertulis, bahwa saat putus kontrak, maka Indonesia hanya wajib mengembalikan USD 50-60 juta. Jadi bukan USD 400 juta dolar," kata Politikus PKB itu.
Bila hasil analisa DB diikuti, Daniel melihat Indonesia tetap merugi.
Praktiknya, Pelindo II hanya mendapat fee di muka USD 200 juta.
Artinya, aset hanya dinilai USD 400 juta dan 49 persen saham Indonesia hanya dinilai USD 200 juta.
"Kalau dianggap aset USD 400 juta, kita kasih 49 persen, kita dapat USD 200 juta, dari aset itu saja kita rugi.
Dan bonusnya mereka mendapat hak pengelolaan yang lebih menguntungkan. Kan uang hasil pengelolaan ke dia (HPH). Kita dobel ruginya," jelasnya.
Daniel mengatakan sebenarnya Direksi Pelindo II bisa menghentikan kerugian negara itu jika dberpegang pada kontrak yang diteken dengan HPH di 1999.
Dengan itu, Indonesia cuma membayar USD 50-60 juta.
"Ternyata kontrak itu DB mengklaim tidak tahu karena datanya tak diberikan oleh pihak Manajemen Pelindo II."
"Bayangkan, dengan aset 800 juta dolar, kita kasih asing 50 persen saham dan kita hanya dikasih 200 juta dolar. Plus kita rugi karena uang hasil pengelolaan ke dia (asing)," ungkapnya.
Oleh karenanya, Daniel melihat adanya indikasi pembiaran perampokan kekayaan negara lewat Pelindo II.
Karena itu, menurut dia, sudah jelas indikasi pembiaran perampokan kekayaan negara lewat Pelindo II.
Daniel menegaskan pihaknya menilai sebuah pelabuhan, entah rugi atau untung, harus tetap dikelola oleh pihak di dalam negeri.
Karena pelabuhan adalah pintu gerbang.
"Ini bukan kesalahan tapi perampokan," tegasnya.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.