Efendy Gazali: Sudirman Said Berikan Laporan Keliru atau JK Salah Dengar?
Pasalnya, belakangan diketahui bahwa Sudirman belum izin ke Presiden Jokowi dalam pelaporan itu.
Penulis: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar komunikasi politik Universitas Indonesia Efendy Gazali perkembangan isu dugaan pencatutan nama Presiden oleh Ketua DPR Ketua DPR Setya Novanto yang dilaporkan Menteri ESDM Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) agak membingungkan.
Pasalnya, belakangan diketahui bahwa Sudirman belum izin ke Presiden Jokowi dalam pelaporan itu.
"Di situ ada beberapa persoalan. Kata Pak Luhut (Luhut Pandjaitan, Menko Polhukam), Sudirman belum lapor ke Presiden. Namun, kata Pak JK (Wapre Jusuf Kalla) yang berasal dari Sudirman menyebut bahwa Sudirman telah lapor ke Presiden. Itu yang membingungkan," katanya kepada wartawan, Minggu (22/11/2015).
Namun, kata Efendy, langkah Sudirman yang belum lapor Presiden menarik untuk dicermati. Biasanya, seorang menteri dalam membuat kebijakan tertentu lapor dulu ke Presiden. Nah, untuk pelaporan ke MKD, Efendy tidak tahu pasti ada kewajiban laporan atau tidak.
"Namun, pada bagian lain, kalau betul dia belum lapor ke Presiden, terlepas izin itu ada atau tidak, berarti Sudirman Said memberikan laporan keliru kepada Pak JK," imbuhnya.
Yang tak kalah menarik adalah, Luhut Pandjaitan yang tidak merasa namanya tercemar. Padahal, dalam transkip dan rekaman yang beredar, namanya disebut-sebut sebanyak 16 kali.
Meski begitu, untuk menarik benang merah isu ini cukup gampang. "Secara komunikasi politik, hal ini sederhana, bongkar segala nya. Apakah Sudirman Said tidak jujur pada Pak JK, atau Pak JK salah dengar. Hal ini menjadi menarik, tidak lepas dari tarik menarik kekuasaan," katanya.
Jika ternyata Sudirman belum lapor Presiden, lanjut Efendy, kredibilitasnya akan terganggu. "Karena dia menyatakan sudah lapor ke Presiden, namun ternyata belum," katanya.
Sedangkan untuk melihat kasus ini secara utuh, Efendy menyarankan media tidak hanya mengejar Sudirman dan Novanto. Media juga harus mengejar nama-nama lain, seperti Dirut Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin dan Luhut Pandjaitan.
"Pengakuan Luhut bahwa namanya tdk tercemar juga merupakan keanehan. Harusnya Luhut marah, setelah Pak Jokowi dan Pak JK," katanya.
Sedangan untuk di MKD, Efendy meminta proses penanganan kasus ini dilaksanakan terbuka. Dengan begitu, akan diketahui dengan pasti oleh publik siapa yang berbohong dalam kasus itu.
"Penekanan saya adalah MKD mengundang teman-teman media untuk mendengarkan rekamannya. Kita harus tekankan itu. Karena MKD adalah Mahkamah Kehormatan Dewean. Kalau betul ada orang yang hendak menzolimi kehormatan Dewan, MKD harus membela dan membuka pintu untuk diperdengarkan, minimal kepada teman-teman media. Ini juga penting agar MKD tidak mengalihkan persoalan sebagai sekedar penzoliman," tandasnya.